Mohon tunggu...
Lazuardi Ansori
Lazuardi Ansori Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir dan besar di Lamongan, kemudian belajar hidup di Sulawesi dan Papua...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nur Mahmudi Memilih Jadi Manusia Rendahan?

20 Mei 2014   16:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:20 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam hidup ini terkadang kita tidak diperhadapkan pada masalah benar dan salah. Sering kali kita dipertemukan pada peristiwa dimana benar dan salah ini menjadi skunder saja. Selain benar dan salah, masih ada frekuensi-frekuensi lain yang menjadi pertimbangan kita bertindak, misalnya pantas atau tidak pantas, etis atau tidak etis, berguna atau tidak berguna dan lain sebagainya.

Jika suatu hari kita bertemu dengan seorang tuna netra yang akan menyeberang jalan, lantas kita tidak membantunya, apakah tindakan itu salah menurut hukum formal? Apakah karena kita tidak membantunya menyeberang lantas ada polisi yang akan menangkap dan memenjarakan kita?

Pertimbangan-pertimbangan sebuah tindakan tidak harus benar dan salah menurut hukum yang ada. Kita dibekali akal dan rasa dalam hati yang akan membuat kita mengambil keputusan akan menolong sang tuna netra tadi.

Hukum atau aturan legal formal berada pada kasta terendah dalam tata kehidupan, jika dipandang dari kaca mata pribadi yang ditunjukkan pada diri sendiri. Kita sama sekali tidak memerlukan undang-undang berpakaian lengkap hanya agar kita tidak keluar rumah dengan telanjang bulat. Kita tidak perlu melihat KUHP, sebagai dasar kita tidak mencuri barang milik orang lain. Kita sama sekali tidak membutuhkan Intruksi Presiden jika hanya untuk membuat kita tidak dzalim pada orang miskin.

Hanya orang dengan jiwa lemah yang kemudian membutuhkan aturan-aturan legal itu untuk membatasi dirinya agar tidak berbuat jahat. Kenyataanya, dalam hubungan sosial, orang-orang berjiwa lemah ini selalu ada, maka dari itu aturan formal tetap ada untuk menjaga relasi sosial tetap berjalan harmonis.

Kembali pada masalah pantas atau tidak pantas yang posisinya berada diatas aturan legal formal tadi, bahwa banyak diantara kita kemudian menjadi salah kaprah. Dalam komunikasi sosial sehari-hari banyak kita dapati tindakan tidak etis dengan leluasa dilakukan dengan alasan tindakan itu tidak melanggar aturan yang ada.

Posisi hukum formal yang sebenarnya digunakan sebagai gawang terakhir, kini menjadi sebuah senjata utama. Dalam permainan sepak bola kemudian jadi sangat tidak menarik ketika sebelas pemain berada di gawangnya, dengan tujuan: yang penting tidak kebobolan. Strategi macam ini selain membosankan sebagai permainan, juga tidak akan menang karena tidak menyerang. Sebagai manusia, tindakan ini menunjukkan kita tidak akan bisa menang, ini adalah sejelek-jeleknya manusia.

----

Beberapa waktu lalu, kita mendengar kabar bahwa ada mobil rombongan Wali Kota menabrak seorang pengendara motor. Nur Mahmudi, Wali Kota Depok ini tidak turun dari mobil setelah menabrak pengendara motor tersebut.

Spontan tindakan Wali Kota ini menuai banyak kecaman. Ada yang mengkategorikan tabrak lari, meski bagi saya frasa ‘tabrak lari’ tidaklah tepat karena kabarnya para petugas, anak buah Bapak Nur Mahmudi telah memberi pertolongan pada korban.

Terlepas dari sudah ditolongnya korban oleh anak buah Wali Kota, masih banyak yang menyayangkan sikap yang dipilih oleh Wali Kota yang sempat dicalonkan sebagai Calon Presiden dar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

"Saya tidak turun dari mobil, bukan berarti saya arogan. Sebab tidak semestinya saya turun. Dalam tata acara, selama kejadian sudah ada yang menangani, maka tidak perlu saya turun," kata Nur Mahmudi kepada wartawan di Balaikota, untuk menanggapi kecaman yang dialamatkan padanya.

Menurut Nur Mahmudi, saat mengetahui mobil dinasnya menabrak sepeda motor, rombongan mereka berhenti.

“Sudah ada yang menangani korban. SOP sudah kami lakukan, jadi saya tidak harus turun. Kami juga ada tamu lain, saya tidak turun karena ada polisi. Yang melakukan semuanya polisi, yang menentukan saya jalan atau tidak itu, polisi," katanya. (sumber berita : di sini)

----

Seperti yang saya gambarkan di awal tulisan ini, bahwa ada sesuatu yang jauh lebih berharga disbanding aturan formal, SOP, Protokoler dan lain sebagainya itu. Bapak Wali Kota ini menggunakan frasa “Saya tidak harus turun”, menurut saya memang dia tidak harus turun menurut aturan formalnya, tapi juga itu bisa berarti “Tidak haram untuk turun”. Tinggal bagaimana tingkat nilai-nilai kemanusiaannya sehingga memilih yang mana.

Dia bisa memilih untuk sangat menjemukan dengan menjaga gawangnya agar tidak kebobolan namun menjadi manusia kelas rendahan dan tidak memperoleh kemenangan sebagai manusia, atau dia memilih untuk menjadi manusia pemenang yang memandang segala peristiwa tidak sekedar dari benar dan salah secara hukum, namun wagu atau tidak, etis atau atau tidak, manusiawi atau tidak. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun