Jika anak Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang berdoa kepadanya.” (HR Muslim).
--------
[caption id="attachment_265345" align="alignleft" width="248" caption="Mushollah Tempo Dulu"][/caption]
Menurut guru agamaku dulu, salah satu amalan yang pahalanya terus akan mengalir meskipun kita meninggal adalah amal jariyah. Membangun masjid, mendirikan rumah sakit, turut serta menghidupkan panti asuhan, membuat sumur, menyumbangkan buku atau kitab, berjuang membela tahan air, insyaAllah semua itu bisa dikategorikan sebagai amal jariyah.
Alhamdulillah, ternyata masih banyak orang-orang disekitar saya yang punya semangat untuk menyediakan ruang bagi teman-teman yang lainnya untuk ber-shodaqoh jariyah. Sore kemarin, sahabat baik saya mengirimkan sms berisi ajakan untuk bershodaqoh. Dia akan membangun musholla.
Kemudian saya sarankan dia untuk membuat semacam proposal, dan “ditawarkan” ke teman-teman yang ada di facebook. Akan tetapi sahabat saya ini “menolaknya”, atas saran dari orang-orang tua yang ada di sekitarnya, sebaiknya menggunakan metode lama. Bil lisan, wa bil SMS saja, dan atas dasar kepercayaan.
Saya sangat tertarik dengan metode kepercayaan itu. Menggunakan metode kuno, tanpa ada tetekbengek yang kadang identik atau minimal dekat dengan rasa ketidakpercayaan.
Pernah mengalami didatangi seseorang dengan beberapa lembar surat yang berstempel yang bermaksud meminta sumbangan pembangunan masjid, pesantren, panti asuhan dan lain-lainnya? Kenapa mereka membawa surat-surat itu? Kemungkinan besar adalah untuk meyakinkan calon penyumbang bahwa apa yang sedang mereka tawarkan adalah benar-benar adanya.
Apakah anda percaya begitu saja? Memberikan beberapa rupiah dengan masih menyisakan tanya, “apa itu bener-bener dipakai untuk membangun Masjid ya?”. Silahkan anda tanyakan kepada orang-orang yang ngerti fiqh tentang memberikan amal namun masih ragu akan kebenarannya. Keterbatasan ilmu saya membuat saya tidak berani untuk jauh memasuki wilayah itu.
Kasarnya seperti ini, sahabat saya ingin menawari peluang kepada saya untuk beramal jariyah. Kalau ikhlas dan percaya silahkan, kalau ragu atau tidak percaya juga tidak apa-apa. Dan saya teramat yakin, jika saya menyumbang nantinya tidak akan pernah saya dikirimi semacam Laporan Pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban dia nanti langsung ke Allah.
Tanpa menilai rendah metode modern penggalangan dana, namun saya ingin mengungkapkan bahwa metode kepercayaan ini jarang yang melakukannya dan menurut saya inilah jalan terbaik. Mungkin bukan terbaik dalam efektivitas jumlah dana yang terkumpul, namun terbaik dalam melatih keikhlasan dan kejujuran pemberi sumbangan serta pengelola dana. Dan saya termasuk yang amat sangat mempercayai hal-hal yang seperti ini, bahwa sebuah tindakan yang didasari oleh keikhlasan dan kejujuran insyaAllah akan barokah.
Tolong jangan samakan ini dengan sebuah kisah seseorang yang “ditegur” oleh Rasul karena masuk Masjid dan sholat namun tidak mengikat kudanya. Rasulullah kemudian menyuruhnya untuk mengikat kudanya, lalu sholat. Kisah ini memberi gambaran bahwa ketawakalan itu juga punya aturan main. Kita tidak bisa meninggalkan motor kita di tempat parkir begitu saja tanpa mempertimbangkan keamanannya dengan dalih tawakal.
Kita pasti sulit untuk bisa memberikan uang beberapa ratus ribu atau bahkan puluhan juta ke orang lain begitu saja. Ada banyak faktor yang bisa membentuk kepercayaan kita terhadap seseorang. Berserah diri begitu saja tanpa mempertimbangkan hal-hal lain bisa jadi malah dinilai sebagai tindakan bodoh, atau bahkan dianggap sebagai dosa. Akan tetapi, jika kita mengenyampingkan hal-hal baik seseorang dan dengan dalih kehati-hatiaan namun sifatnya berlebihan bisa jadi itu mengurangi nilai keikhlasan kita.
Saya pernah lihat seseorang ngasih uang yang tidak seberapa kepada pengemis, namun setelah memberikan dia ngomel kiri kanan seolah-olah tidak mempercayai itu. Omelan semacam itu jika menyakiti hati si pengemis bisa jadi akan mengurangi atau bahkan menghapuskan nilai shodaqohnya.
Berilah jika memang bisa untuk ikhlas, dan jika tidak bisa untuk percaya sebaiknya jangan melakukan hal-hal yang bisa mengurangi atau bahkan menghapus nilai pahala atas apa yang telah kita lakukan.
Sahabat saya itu mungkin saja ingin membangun sebuah bangunan berupa Musholla yang tidak hanya didirikan dengan tumpukan uang, namun juga dengan polesan mengkilap dari cahaya keikhlasan.
Saya seperti sedang dinasehati : “Jika percaya, silahkan sumbangkan harta anda dengan penuh keiklasan kepada dia. Jika ragu, silahkan tengok kiri dan kanan sekitar anda, yakin lah Allah menyediakan kantong-kantong yang anda percayai yang siap menampung shodaqoh jariyah anda.”
------
SMS terakhir yang saya terima dari dia: “Musholla ini insyaAllah kedepannya akan dijadiakan pesantren, mohon do’anya” []
Sumber Gambar : di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H