Tahun 2000 saya masih tinggal di kampung halaman saya. Sebuah desa di sebelah selatan Lamongan yang berbatasan langsung dengan Mojokerto. Teman-teman sepermainan saya banyak yang berstatus warga Mojokerto. Kedekatan-kedekatan itu membuat saya punya semacam “ikatan batin” tersendiri dengan Mojokerto.
Peristiwa-peristiwa yang menimpa warga Mojokerto dengan cepat kami terima kabarnya. Isu-isu yang menghangat di masyarakat Mojokerto juga sedikit banyak saya ketahui relatif lebih cepat dibanding orang-orang lain yang jauh dari Mojokerto.
Di akhir tahun 2000 terjadi peristiwa yang menggeparkan bukan hanya bagi warga Mojokerto, namun juga bagi Indonesia. Bom meledak di Gereja Eben Haezer, Mojokerto pada malam Natal.
[caption id="attachment_262435" align="alignright" width="360" caption="Riyanto dan Baju Banser-nya"][/caption]
Banyak korban berjatuhan, dan yang paling menyita perhatian adalah Riyanto. Pria yang kala itu berusia 25 tahun itu meninggal di tempat kejadian dengan kondisi jenasah yang sangat mengenaskan. Namun bukan karena kondisi tubuhnya yang jadi bahan pembicaraan orang, tapi statusnya yang sebagai anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang banyak menyita perhatian.
Lelaki kelahiran Kediri, 23 November 1975 itu ditugaskan oleh GP Ansor Mojokerto untuk serta mengamankan perayaan malam Natal.
Pada awalnya, Misa yang dilakukan di Gereja Eben Haezer itu berjalan lancar dan khusyu’. Akan tetapi keadaan menjadi kacau saat salah satu anggota jemaat mencurigai sebuah bungkusan plastic yang ada dalam Gereja.
Riyanto yang saat itu ada dilokasi dengan sigap memeriksa bungkusan itu di depan pihak keamanan Gereja. Setelah melihat apa yang ada didalam dan Riyanto merasa curiga dia segera berteriak “TIARAAAP!” dan kemudian terjadi kepanikan dalam Gereja.
Menurut beberapa orang, Banser Riyanto saat itu berlari sambil mendekap kantong plastik itu saat sudah tidak ada waktu lagi untuk menjauhkan bungkusan itu dari Gereja. Dan bom pun meladak. Tubuh pria itu berhamburan. Konon kabarnya, serpihan tibuhnya di temukan 100 meter dari tempat ledakan.
Pria Muslim yang lahir dari pasangan Sukarnim dan Katinem ini banyak dipuji orang. Seorang Muslim sejati yang rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan orang lain yang sedang merayakan Natal. Atas keberanian dan pengorbanannya itu banyak penghargaan diberikan kepadanya. Gus Dur pernah berujar “Riyanto telah menunjukkan diri sebagai umat beragama yang kaya nilai kemanusiaan. Semoga dia mendapatkan imbalan sesuai pengorbanannya,”
Selain itu, pada tahun 2008 nama Riyanto dijadikan nama program beasiswa oleh The Wahid Institute. Tidak hanya itu, nama Riyanto juga dijadikan nama salah satu jalan di Prajurit Kulon Mojokerto.
-----
Akan tetapi, penghargaan-penghargaan yang telah kita berikan kepada pahlawan kemanusiaan itu ternyata saat ini tidak ada artinya sama sekali. Bukannya belajar dari pengorbanan Riyanto, namun malah ada pihak-pihak yang berjiwa kerdil dan melakukan tindakan konyol yang bertentangan dengan perjuangan mulia Riyanto.
Jika Riyanto yang mengorbankan jiwanya agar umat Nasrani bisa aman dalam merayakan hari kebesaran Agamanya, akan tetapi saat ini ada pihak-pihak yang berusaha menghalangi orang untuk beribadah.
Jika Riyanto yang Muslim dengan gagah berani menjaga menjaga Gereja, namun ada sekarang orang-orang yang (sok) gagah menghalang-halangi pembangunan Gereja.
Betapa bodohnya kita ini, karena tak juga belajar dari pengorbanan orang lain. Betapa berdosanya kita pada Riyanto.[]
Sumber Gambar : di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H