Ratusan atau bahkan sudah ribuan orang berargumen tentang bagaimana buruknya rokok. Namun tanpa menunggu waktu lama, setiap argumen akan dibantah dengan sendirinya oleh pecinta rokok.
Mau menggunakan pendekatan apa? Kesehatan? Banyak koq orang yang ngerti tentang kesehatan dan bahkan dokter pun terjebak oleh batang bernikotin ini. Kita akan membahas keburukan rokok dari sudut pandang ekonomi? Ah, rasanya akan sia-sia, karena banyaknya orang yang sebenarnya tercekik secara ekonomi namun masih belum bisa melepaskan diri dari jeratan asap rokok.
Para penggiat gerakan anti rokok akan “diserang” dengan barbagai macam alasan tentang bagaimana rokok itu sulit untuk dihilangkan. Akan ada suara tentang bagaimana nasib patani tembakau atau buruh pabrik rokok jika rokok dihilangkan? Kemudian akan disusul oleh keraguan beberapa pihak tentang bagaimana bisa mengganti pendapatan negara yang hilang dari tidak adanya cukai rokok. Ada juga suara-suara sumbang berupa pertanyaan tentang apakah ada industri lain yang bisa membiayai kegiatan-kegiatan olah raga dan seni di negeri ini selain industri rokok. Dan ada ribuan alasan lain yang akan muncul sedetik setelah kita ungkapkan fakta-fakta keburukan rokok.
*******
Saya adalah perokok berat. Dalam sehari saya bisa menghabiskan lebih dari tiga puluh batang rokok. Dan kebiasaan buruk saya itu sudah saya lakukan sejak lebih dari lima belas tahun yang lalu. Namun semua itu sudah berhasil saya hentikan, total. 14 Juni tahun lalu saya menyatakan diri untuk berhenti. Satu tahun saya telah berhasil membebaskan diri dari rokok.
Upaya berhenti ini bukan yang kali pertama saya lakukan. Banyak cara saya lakukan, beragam metode sudah pernah saya tempuh, beribu alasan coba saya pahami agar saya segera menghetikan kebiasaan buruk saya itu. Namun, semuanya gagal. Hingga saya menemukan sebuah alasan yang sangat ampuh.
Mencoba berhenti merokok dengan cara mengurangi jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari, sudah pernah saya lakukan. Hasilnya gagal total. Pada kondisi-kondisi tertentu, konsumsi rokok malah bertambah jumlahnya. Pernah juga menakut-nakuti diri sendiri dengan akibat buruk rokok terhadap kesehatan jantung, paru-paru, tenggorokan, usus, hati dan yang lainnya. Banyak membaca artikel-artikel kesehatan pun tidak bisa menggoyahkan rasa ketergantungan saya terhadap barang yang dijuluki oleh Taufiq Ismail dengan istilah “tuhan sembilan senti” ini.
Mungkin karena kualitas keimanan saya yang kurang bagus, saya sering meragukan fatwa tentang rokok itu haram. Saya tidak berani menyatakan rokok haram, karena kalau rokok haram berarti nanti Gus Mus, Buya Hamka dan beberapa kiai lain masuk neraka. Beliau-beliau itu kan ulama yang juga perokok, jadi kalau rokok dianggap haram, itu artinya mereka masuk neraka dong. Ah, saya tidak ikhlas kalau mereka masuk neraka, jadi saya tidak setuju kalau rokok dianggap haram. Hehehe… Tentu saja itu sebuah alasan yang tidak masuk akal, namun kebiasaan saya menghisap rokok tidak bisa dihentikan oleh sebuah aturan halal haram.
Beberapa sahabat saya pernah mencoba berhenti merokok karena tekanan pacar atau istri. Namun saya tidak mencoba itu, karena kadang saya melihat mereka tetap merokok jika tidak dilihat oleh pacar atau jauh dari istri. Mereka tidak merokok di rumah, mungkin takut tidak dikasih “jatah” sama istrinya, namun jika sudah di kantor mereka tetap merokok. Dan kalau waktunya pulang kantor, mereka segera mengunyah permen karet atau menggosok gigi terlebih dahulu. Saya tidak tertarik untuk melakukan metode ini, karena ini hanya menyiksa diri dan melatih diri sebagai seorang penipu saja.
Jadi cara apa yang telah saya lakukan sehingga berhasil selama setahun ini tidak menyentuh rokok lagi?
*******
Manusia itu adalah makhluk paling mulia yang pernah diciptakan Tuhan. Manusia lebih mulia dibading cacing, kerbau, monyet, mobil, rumah, jabatan, uang dan lain sebagainya, termasuk rokok.
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita, Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di toko buku orang merokok, di kafe di diskotik para pengunjung merokok.
Begitu penggalan sajak dari Taufiq Ismail (Tuhan Sembilan Senti)
Manusia sejatinya posisinya berada diatas rokok. Manusia itu di atas kuda, untuk mengendalikan kemana kuda akan berlari, berbelok atau berhenti. Manusia harusnya yang mengendalikan, bukannya malah dikendalikan oleh rokok.
Mari kita perhatikan, bagaimana para pecandu rokok kelimpungan saat kehabisan rokok, seolah-oleh mereka tidak bisa melakukan apa-apa jika tidak merokok. Tidak mampu mendapatkan aspirasi jika tidak menghisap sebatang atau beberapa batang rokok terlebih dahulu. Rasanya ada yang hilang jika sehabis makan namun tidak merokok.
Saya pernah bersama seorang teman berjalan kaki beberapa kilometer ditengah malam hanya untuk membeli rokok. Persediaan rokok habis, sementara pekerjaan masih banyak dan deadline-nya esok paginya. Terpaksa harus kejar setoran malam itu juga. Karena kehabisan rokok, rasanya tidak bisa bekerja, semangat hilang begitu saja. Jalan kaki adalah jalan keluarnya, karena motor sedang rusak.
Pernah kami berada di suatu pulau terpencil. Karena harus tinggal di pulau itu untuk beberapa lama, saya dan teman-teman sudah menyiapkan rokok untuk persediaan. Namun ternyata persediaan kami habis sebelum pekerjaan kami belum usai di pulau itu, dan karena di pulau itu tidak tersedia rokok yang sesuai dengan selera kami, terpaksa kita menyewa perahu yang uang sewanya lumayan mahal hanya untuk bisa ke pulau sebelah dan membeli beberapa bungkus rokok dengan merk yang sesuai dengan keinginan kami.
Begitu rapuhnya saya. Untuk sebuah keinginan merokok saya rela melakukan hal-hal yang bagi orang yang tidak merkok dianggap tidak perlu atau bahkan gila. Saya telah ditunggangi nafsu saya untuk merokok. Segala tindak tandukku di kuasai oleh ada tidaknya sebatang rokok. Emosi saya tergantung pada berapa rokok yang telah saya hisap. Bahkan, saya tidak bisa nyaman dan puas melepas hajat saat berada di toilet jika tidak sambil bercengkrama dengan sebatang rokok.
Betapa rendahnya harga diri saya. Dengan sebatang rokok saya kalah telak.
Salah satu tugas dan misi manusia adalah menjaga kualitas kemanusiaannya. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk paling tinggi derajatnya, namun manusia sendirilah yang telah mempermalukan diri, merndahkan diri serta mempersilahkan martabatnya di rendahkan posisinya terhadap sebuah makhluk yang bernama rokok.
Perhatikanlah para pecandu rokok yang tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri dan membiarkan dirinya ditunggangi oleh sebatang rokok. Seakan-akan mereka tidak punya hak untuk mengendalikan dirinya sendiri. Betapa rendah martabatnya.
Dan saya tidak terima akan hal itu. Saya berontak. Saya tidak akan membiarkan diri saya di kuasai oleh makhluk lain. Saya mencoba mempertahankan harga diri, saya coba menjaga kualitas kemakhlukan saya. Allah memberikan kita derajat yang tinggi diantara makhluk-makhluk lain, dan kenapa kita menghina penghargaan dari Tuhan itu dengan menyerah pada hal-hal yang sebenarnya jauh lebih rendah kualitas kemakhlukannya. []
Saat ini saya berhasil menguasai keinginan saya untuk merokok, namun saat ini juga saya sedang menjaga keingian saya untuk berhenti merokok ini agar tidak menjadi menjadi sebuah nafsu; nafsu untuk berhenti merokok yang pada akhirnya menguasai saya.
------
Sumber Gambar : di sini
Sumber Gambar : di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H