Siang ini sebuah kiriman mendarat di meja kerja saya, sebuah buku yang sejak beberapa minggu lalu membuat saya penasaran. Bukan hanya karena penulisnya, Miftahul Faham Syah, adalah teman saya sewaktu SMP, namun tentang rasa penasaran saya terhadap keteguhan hatinya untuk tetap mencintai sesuatu, yang bagi sebagian besar orang –termasuk saya- sudah memuakan dan mulai ditinggalkan, yaitu sepak bola Indonesia.
Rasa penasaran pula yang membuat saya memutuskan untuk tidak bergegas ke parkiran saat jam pulang kantor sudah lewat, saya memutuskan untuk membuka buku setebal 174 halaman itu. Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut, begitu judul buku tersebut.
Bagi saya buku ini ditulis dengan sangat bagus, bahasa yang sederhana namun mengena. Saya punya buku di rumah yang sejak saya beli beberapa saat lalu yang tebalnya tidak beda jauh dari buku ini namun sampai saat ini belum saya khatamkan. Tetapi, buku tulisan Miftah (begitu saya menyapanya) ini begitu menarik dan membuat saya melahap habis sampai halaman terakhir tanpa jeda. Hanya sedikit buku yang pernah saya baca dengan cara seperti ini, membaca sampai habis dalam “sekali duduk”.
Miftah, begitu lugas menceritakan kisah-kisah sederhana namun dalam, tentang apa yang dijumpainya di sekitar sepakbola. Dia sangat pandai menemukan sesuatu yang bagi sebagian besar orang dianggap tidak penting, dilupakan atau bahkan tidak pernah dianggap sama sekali yang ada dipinggir lapangan, kemudian menuturkannya dengan sangat baik.Misalnya, bab yang diberi judul “Stadion Ini adalah Pelataran Rumah Saya”, Miftah menyorot seseorang bernama Pak Pangat, lelaki berusia 65 tahun yang sejak tahun 1973 menjadi sosok yang menghidupkan pertandingan-pertandingan di Gelora 10 Nopember lewat mic yang dia pegang. Seseorang yang punya kelincahan dalam menceritakan jalannya pertandingan di pinggir lapangan.
Kisah-kisah menarik yang terjadi di pinggir lapangan ini lah, bisa jadi yang membuat Miftah begitu setia untuk tetap mencintai sepakbola nasional. Mungkin karena dia wartawan sebuah koran besar, Jawa Pos, sehingga dia sangat sering bersentuhan secara langsung dengan para pelaku-pelaku sepakbola, dan itu membuat kadar cintanya masih tetap besar atau bahkan mungkin semakin meninggi.
Bagaimana tidak demikian, dalam satu tulisannya, Miftah berkitas saat berkunjung ke sebuah desa di Sidoarjo, di mana masyarakat desa tersebut menganggap sepakbola menjadi bagian dari kehidupannya. Saya sendiri mungkin akan sulit untuk tidak bergetar hati kala berada ditengah masyarakat desa seperti itu, sebuah desa yang karena kecintaanya terhadap sepabola maka lahirnya banyak pemain nasional dari desa itu. Bagaimana tidak merinding, ditengah kondisi persepakbolaan yang carut marut, ada sekelompok masyarakat desa yang masih menaruh harapan terhadap sepakbola. Hasilnya: tidak sedikit pemuda dari desa itu pernah berseragam timnas.
Seperti judul buku yang dia tulis, Miftah tahu betul bahwa kecintaannya terhadap sepakbola ini memang tidak mudah. Wajah sepakbola Indonesia terlihat kusam, kusut. Kondisi seperti ini yang membuat orang-orang seperti saya ini kemudian mengambil langkah untuk mundur daripada terus sakit hatimenyaksikan betapa sepakbola nasional ini semakin hari semakin menyesakan dada. Namun Miftah tidak
Dalam hal ini Miftah dengan sangat jujur menyuarakan kegundahan hatinya. Argumennya sungguh mengena tentang perilaku pengurus PSSI. Kritiknya begitu tajam dan menyayat pedih, seperti yang diungkapkannya mengenai mimpi PSSI untuk menjadi tuan rumah piala dunia, namun disisi lain PSSI masih amburadul dalam mengelola organisasinya, hingga pernah berhutang pada tukang cuci pakaian.
Perhatikan bab yang berjudul “Kostum”, saya sendiri hampir meneteskan air mata saat Miftah menceritakan perihal permintaanya kepada Evan Dimas untuk meminta kaos yang dipakainya seusai mengalahkan Vietnam di Sidoarjo. Evan menolak permintaan Miftah karena kaos tersebut akan dipakai kembali dipertandingan berikutnya. Bagaimana mungkin, sebuah timnas hanya mampu menyediaan satu kaos. Ini Negara miskin atau Negara dengan pengelolaan sepakbola yang amburadul?
Suporter juga tak luput dari sorotan Miftah, terutama tentang perseteruan antar suporter. Ditengah hubungan yang memanas antara Aremania dan Bonek misalnya, Miftah dengan caranya sendiri mengisahkan tentang sejarah kata Bonek ternyata lahir dari seseorang kelahiran Malang. Miftah juga “mengritik” hubungan tidak baik antara Aremania dan Bonek ini dari sudut pandang yang begitu unik. Bagaimana tidak? Miftah bertutur mengenai pertikaian ini dimulai dari kisahnya tentang Pasar Keputran.
Terakhir, saya harus berterimakasih kepada buku ini, karena bisa memberikan saya harapan lagi, bahwa sepakbola nasional jangan ditinggalkan, mari bersama-sama mencoba merajut benang-benang kusut ini menjadi sebuah bendera yang bisa membahagiakan dan membanggakan. Memang bukan hal yang mudah untuk mencintainya ditengah peristiwa-peristiwa yang begitu menyedihkan di persepakbolaan kita. Akan tetapi, perlu kita pahami bersama bahwa dipinggir-pinggir lapangan masih banyak yang berharap bahwa sepakbola bisa menjadi sesuatu yang membahagiakan. []
Malang, 27 April 2015
Sumber Gambar: http://bukuindie.com/wp-content/uploads/2015/04/Cover-untuk-web10.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H