Mohon tunggu...
Lazuardi Ansori
Lazuardi Ansori Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir dan besar di Lamongan, kemudian belajar hidup di Sulawesi dan Papua...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Orang Miskin yang Sakit, Mencuri Saja!

22 Juni 2011   15:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:16 1411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deru ambulance Memasuki pelataran rumah sakit Yang putih berkilau Di dalam ambulance tersebut Tergolek sosok tubuh gemuk Bergelimang perhiasan Nyonya kaya pingsan Mendengar kabar Putranya kecelakaan Dan para medis Berdatangan kerja cepat Lalu langsung membawa korban menuju ruang periksa Tanpa basa basi Ini mungkin sudah terbiasa Tak lama berselang Supir helicak datang Masuk membawa korban yang berkain sarung Seluruh badannya melepuh Akibat pangkalan bensin ecerannya Meledak Suster cantik datang Mau menanyakan Dia menanyakan data si korban Di jawab dengan Jerit kesakitan Suster menyarankan bayar ongkos pengobatan Ai sungguh sayang korban tak bawa uang Suster cantik ngotot Lalu melotot Dan berkata “Silahkan bapak tunggu di muka!” Hai modar aku Hai modar aku Jerit si pasien merasa kesakitan Hai modar aku Hai modar aku Jerit si pasien merasa diremehkan

(Ambulan Zig Zag – Iwan Fals)

----

Saya dengar lagu Ambulan Zig Zag dari Iwan Fals ini sejak lama. Tapi entah kenapa, saya merasa lirik lagu ini seperti baru kemarin ditulis. Diskriminasi terhadap kaum miskin di wilayah pelayanan kesehatan ini sampai hari ini masih nyata.

Sampai hari ini, masih ada banyak kisah-kisah memilukan tentang kaum miskin yang terengah-engah saat ingin keluar dari masalah kesehatan. Sampai-sampai ada sebuah buku yang kalau tidak salah judulnya “Orang Miskin Dilarang Sakit”. Saya memang belum baca buku tersebut, namun kalo boleh saya menebak, buku itu mungkin menggambarkan betapa sulitnya orang-orang miskin di Indonesia ini untuk bisa mendapatan pelayanan kesehatan yang pantas.

“Duit dari mana sepuluh juta? Laki aja di Sentiong nge-becak. Saya bilang (kepada pihak rumah sakit) mau kompromi dulu di rumah sama sodara. Padahal, enggak punya uang. Lima ratus perak kalau lagi enggak punya uang mah enggak punya,” kata Aswanah yang tengah terbelit masalah biaya rumah sakit. (di kutip dari berita di kompas.com)

Ibu Aswanah tidak sendiri, saya teramat yakin, di Indonesia ini banyak orang-orang yang sedang dirundung masalah yang serupa itu. Sayangnya, meskipun ini tergolong masalah dari ‘jaman purba’ tapi sampai hari ini belum juga menemukan titik terang bahwa akan ada perbaikan. Dan entah sampai kapan lagu Ambulan Zig Zag itu masih pantas diputar.

Kalau biasanya pelajar menganggap pelajaran matematika sebagai momok menakutkan, maka kalau boleh saya bandingkan, rumah sakit saat ini juga manjadi momok yang mengerikan bagi masyarakat miskin. Beberapa hari yang lalu, ipar saya cerita kalau ada anak tetangganya yang mengalami luka bakar yang menurut penilaian ipar saya seharusnya anak itu rawat inap di rumah sakit, akan tetapi orang tuanya memilih untuk rawat jalan saja. Sudah bisa dipastikan, orang tua sang anak itu tidak tau harus membayar pakai apa jika harus rawat inap.

Memang, saya juga mengetahui bahwa pemerintah juga telah memiliki program dalam mengatasi maslah ini, misalnya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Akan tetapi, kenyataan dilapangan tidak sedikitpun menggambarkan bahwa program pemerintah itu mampu menyelesaikan masalah.

---

Kita hanya beberapa kali disuguhi kisah-kisah pilu tentang orang miskin yang sakit di televisi, kemudian menjadi bahan perbincangan publik, dan kemudian baru ada ‘pertolongan’ dari pemerintah. Setiap kali saya mendapati liputan tentang sosok orang yang tidak mampu membiayai pengobatan karena keadaan ekonominya, saya selalu menebak bahwa kalau liputan ini kemudian menjadi wacana di ruang publik, maka pihak pemerintah akan turun tangan.

Alur ceritanya hampir selalu sama. Kisah sedih diliput, masyarakat bersimpati sambil berargumen negatif terhadap lambatnya respon pemerintah, lalu pihak pemerintah merespon (baca : menolong pasien) dan terakhir, kisah itu hilang begitu saja. Hilang, seolah-olah bahwa masalah telah selesai, padahal apa yang diungkap media itu hanya secuil peristiwa, ada ribuan dan mungkin jutaan orang mengalami hal sama. Pertanyaannya kemudian: apakah media harus satu persatu meliputnya, agar pemerintah merespon?

----

Tolong jangan tanyakan kepada saya tentang solusi apa yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Saya hanya orang bodoh yang bisanya hanya mengeluh pada pemerintah, tanpa mampu berbuat apa-apa, saya hanya orang tolol yang bisanya marah dan mengkritik, namun tak menawarkan solusi.

Tiba-tiba, saya menemukan titik terang sebuah solusi...

Saya mendengar bahwa Melinda Dee sakit dan sedang menjalankan operasi, dahi saya berkerut ketika membaca berita bahwa biaya operasi dan perawatan tersangka kasus pencucian uang itu ditanggung oleh Polri, menggunakan uang negara, duit rakyat.

"Itu kan ada ketentutannya kalau orang-orang yang dalam status tahanan ada perlakuan dan kewajiban dari kita. Keharusan yang melaksanakannya adalah Polri, karena kita mempunyai ahli-ahli dan itu sudah diatur dalam SOP kita," kata Kabareskrim Polri Komjen Pol Ito Sumardi.

Nah! Dalam otak saya yang blo’on saya ini kemudian berfikir, apa tidak sebaiknya orang-orang miskin yang sedang terbelit dalam masalah biaya kesehatan itu dianjurkan mencuri atau melakukan tindakan kriminal saja, biar mereka ditangkap kemudian Polri yang akan menanggung biaya pengobatannya.

Semoga saja saudara-saudara kita yang sedang didera masalah biaya pengobatan dirinya tidak mengikuti ide tolol saya itu. []

----

Note : beberapa hari setelah menyatakan Polri akan membiayai biaya kesehatan Melinda Dee, Pak Ito Sumardi meralat pernyataannya "Saya ralat, ternyata yang ditanggung Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) hanya orang tidak mampu," (klik di sini)

Sumber gambar : di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun