Mohon tunggu...
Lazuardi Ansori
Lazuardi Ansori Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir dan besar di Lamongan, kemudian belajar hidup di Sulawesi dan Papua...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apa Kemauan Suaminya Cut Tari Sebenarnya?

13 Juli 2010   11:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:53 1474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_193058" align="alignleft" width="271" caption="ilustrasi"][/caption]

Bukan bermaksud membahas kembali Cut Tari dan video mesum serta ratapan penyesalannya itu. saya cuma kepingin berbagi cerita tentang apa yang pernah saya lihat, saya dengar dan saya alami beberapa tahun yang lalu. Dan mungkin kita bisa menemukan sebuah renungan baru atas peristiwa ini.

Saya tidak kaget dengan keheranan masyarakat tentang sikap suami Cut Tari, karena beberapa tahun lalu saya punya pengalaman unik tentang hal seperti ini.

Laki-laki ganteng ini ternyata mempunyai sikap yang mungkin bagi kebayakan orang sikap itu tidak wajar. Bahkan Bang ASA mencoba membandingkan sikap suami Cut Tari itu dengan sikap laki-laki Bugis secara adat. Menurut apa yang ada dalam artikel Bang ASA yang berjudul "Untung Suaminya Cut Tari Bukan Orang Bugis" itu disebutkan bahwa “...Apabila isteri atau keluarga perempuan yang bersuami di dapatkan melakukan perzinahaan maka jawabannya adalah “NYAWA”. Kalau seorang suami mengetahui dengan pasti atau mendapatkan isterinya berzina maka wajib membunuh kedua-duanya. Bahkan bukan saja suami dari isteri yang bersinah yang berhak membunuh tetapi saudara lelaki ( kakak/adik dr perempuan yang berzinah) dan orang tua juga bisa membunuh perempuan dan lelaki selingkuhnya sebagai penebus marwah dari pihak keluarga lelaki (suami)….”

Saya tidak akan membahas tentang adat itu, biarlah itu menjadi kajian lain. Saya hanya ingin mencoba merefresh ingatan saya tentang apa yang pernah saya dengar beberapa tahun lalu. Saya waktu itu juga kaget seperti halnya kagetnya kita saat ini, saat mendengar seorang suami yang masih sanggup memuji istrinya yang telah mengaku berbuat zina.

Beberapa tahun yang lalu, saya mempunyai sahabat perempuan, sebut saja namanya Ayu. Dia seorang wanita cantik, berkacamata dan berambut pendek seleher.

Ayu bekerja di sebuah apotek, dan mempunyai tunangan seorang anggota TNI sebut saja namanya Budi, namun dia bertugas jauh dari kota tempat Ayu tinggal, bahkan berbeda pulau. Dan karena kondisi itu yang membuat mereka hanya bertemu beberapa kali saja dalam setahun. Singkat kata, mereka berhubungan jarak jauh dan menunggu sampai waktu yang mereka rencanakan untuk meresmikan ikatan mereka ke pelaminan.

Setahu saya, penundaan itu karena masih belum cukupnya tabungan Budi untuk melangsungkan pernikahan, dan ada beberapa alasan tekhnis lainnya.

Ayu termasuk golongan cewek yang biasa berhubungan seks di luar nikah. Dan sejak Budi ditugaskan ke luar daerah, dan berpisah ribuan kilometer Ayu sering berhubungan dengan laki-laki lain. Pacaran, dan bukan hanya pacaran biasa namun sudah sampai pada hubungan intim.

Roda takdir terus berjalan, dan tiba pada suatu keadaan diamana Ayu hamil. Dan sudah barang tentu bapaknya buka Budi namun laki-laki lain yang entah siapa. Entah karena Ayu tidak suka dengan laki-laki lain itu atau memang sang bapak itu tidak mau bertanggung jawab atau mungkin juga Ayu punya alasan lain sehingga Ayu memilih untuk mengugurkan kandungannya itu.

Saya tidak mau membahas tentang gugur mengugurkan itu, saya sangat paham itu adalah tindakan salah dan dosa besar. Saya hanya mampu memberikan saran agar jangan melakukan itu, namun ternyata dia mempunyai pertimbangan lain.

Karena hanya bekerja sebagai karyawan apotek dengan gaji rendah, saya waktu itu mengajukan pertanyaan ringan kepada dia. “Dari mana kamu dapatkan biaya menggugurkannya?”

“Dari Budi” jawabnya singkat. Namun jawaban pendek itu membuat saya melotot dan gemetar merasa tidak percaya dengan apa yang barusan saya dengar.

“Budi sudah tahu kamu hamil?” tanyaku lagi, yang dia jawab dengan anggukan.

“Kalian putus?” aku semakin penasaran

“Tidak, dia memaafkanku” jawabnya lagi.

“Kamu dihamili oleh orang lain, kemudian kamu dibiayai untuk menggugurkan, dan kamu tidak diputuskan… tidak masuk akalku Yu…” kataku sambil menghela nafas panjang.

Kagetnya saya saat itu mungkin hampir sama dengan kagetnya kita pada sikap suami Cut Tari saat ini. Namun, kasus Ayu ini sedikit agak menyesakkan juga saat itu, karena itu “nyata” ada didepan mata saya dan juga baru saya temui orang dengan sikap seperti ini

Akal sehat saya tidak mampu mencerna, logika saya mandek macet pada titik dimana saya tidak bisa menemukan satu alasanpun untuk bisa menjawab tindakan Budi.

Apakah Budi berhati batu? Mati rasa buta hati? Atau jangan-jangan dia bukan laki-laki normal? Beribu pertanyaan muncul pada saat itu dibenak saya, dan tidak ada satupun menemukan jawaban yang logis, masuk akal apalagi ilmiah.

Semua teori yang ingin saya sajikan mental begitu saja. Intinya, ini sesuatu sulit diterima oleh gaya berfikir manusia pada umumnya.

Beberapa tahun setelahnya saya berpisah kota dengan Ayu. Kabar-kabar sudah banyak kita dengar, sampai pada suatu ketika saya dipertemukan dengan dia berjalan di sebuah mall dipeluk dari samping oleh seorang laki-laki berbadan tegap dan dia sedang menggendong seorang bayi. Dalam sekejap saya langsung bisa menebak, bahwa itu anaknya dan yang memeluknya itu Budi, suaminya. Sekitar dua tahun sebelumnya Ayu memang pernah mengirimkan SMS ke saya bahwa dia akan menikah dengan Budi.

Senyuman mereka berdua memberikan isyarat kepada saya bahwa mereka adalah pasangan bahagia.

------

Sekali lagi, tujuan saya hanya ingin berbagi cerita kepada teman-teman semua disini. Kemudian sedapat mungkin kita sinau (belajar) dari kasus ini.

Pertama-tama adalah kita harus yakin. Kita harus meyakini bahwa keadaan semacam itu mungkin terjadi, bahwa ada laki-laki yang rela pasangannya ditiduri oleh lelaki lainnya, bahwa ada suami atau pacar yang “tidak keberatan” kelamin pasangannya dijamah oleh orang selain dirinya.

Percayalah, bahwa ada sesuatu yang mungkin saja terjadi meskipun secara nalar kita itu sesuatu yang mustahil. Ada dimensi-dimensi lain di luar akal sehat kita yang ternyata punya kekuatan yang membuat sesuatu terjadi dan menjadi sebuah kenyataan.

Akal pikiran kita mempunyai daya jangkau tertentu, seperti mata kita yang hanya mampu melihat sampai pada titik tertentu. Jika mata kita hanya mampu menjangkau samapai 100 meter, maka jangan pernah ragu bahwa sebenarnya ada sesuatu yang berada di luar itu, misalnya ada semut yang berjarak 101 meter.

Jika pemahaman seperti ini dipegang teguh, insyaAllah kita jadi tidak kagetan dan tidak terbelenggu oleh sebuah pernyataan subyektif yang mungkin saja bisa menjerumuskan diri kita.

Budi ataupun suaminya Cut Tari mempunyai sesuatu yang sulit dimengerti oleh pemikiran kebanyakan orang (baca : kita). Dan orang-orang selain mereka hanya mampu menebak-nebak sampai batas daya pikirnya kita masing-masing. Kita hanya akan mampu mengolah kemungkinan demi kemungkinan yang membuat hal ini terjadi. Kita hanya mampu meramu dan meracik beberapa titik-titik teori menjadi sebuah kesimpulan, dimana kesimpulan itu jika di terjemahkan dengan bahasa kasar akan bermakna prasangka.

Silahkan kita menggiring sikap Budi itu ke ranah cinta, bahwa itu semua terjadi karena ada idiom yang menyatakan bahwa “cinta itu buta” misalnya. Kita juga bisa berteori tentang “pemanfaatan”, bahwa suaminya Cut Tari sedang menrencanakan sesuatu, atau memiliki agenda-agenda tertentu dikemudian hari yang mungkin saja bisa menguntungkan dirinya secara materi atau yang lainnya. Silahkan saja, kita mempunyai hak sebebas-bebasnya untuk menciptakan kesimpulan-kesimpulan. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, bahwa setiap kesimpulan yang kita ciptakan itu lahir dari sebuah pemikiran yang “terbatas”, yaitu hanya berdasar dari akal pikiran yang hanya memiliki daya jangkau tertentu saja.

Silahkan kita yakin atas apa yang telah kita pikirkan, atas apa yang telah kita pelajari, atas apa yang telah kita telaah, yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang kita yakini, dan mungkin saja hal itu mengejawantah menjadi sebuah laku. Namun, sisakan ruang sedikit saja untuk memberikan peluang atas teori lain yang bersebrangan dengan sesuatu yang kita yakini itu.

Untuk mempelajari apa sebenarnya kemauan suaminya Cut Tari saja kita kebingunan, akan tetapi kenapa banyak diantara kita berani mengklaim dirinya paling mengetahui kemauan Tuhan? []

----

Sumber gambar : di sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun