Drew Nicholas Grant (38 tahun) setahun lalu mergang nyawa. Warga Negara Australia itu pada tanggal 11 Juni 2009 melakukan perjalanan dari Tembagapura menuju Timika, dia beserta beberapa rekannya Lia Madandan, Maju Panjaitan, dan Lukan Jon Biggs dicegat oleh beberapa orang bersenjata di Mile 53, Area PT. Freeport Indonesia (PT.FI). Mereka berempat ditembaki, dan berakhir dengan melayangnya nyawa Drew.
[caption id="attachment_190087" align="alignleft" width="300" caption="Mobil yang dikendarai Drew Nicholas Grant (sbr gmb : http://media.vivanews.com)"][/caption]
Kematian Drew bukan akhir kekerasan di jalur Timika-Tembagapura. Keesokan harinya, pada Minggu 12 Juli 2009 pasukan Brimob dan Densus 88 yang dikirim untuk menyelidiki penembakan Grant, saat tiba di Mile 51 sekitar pukul 10.45 WIT, diserang kelompok tak dikenal dari arah kanan dan kiri jalan dengan senjata api. Tak sampai ada korban jiwa namun anggota Densus 88, Iptu Adam Heri Gunawan terkena luka tembak di paha kiri dan AKP Anggun juga terkena serpihan pada jari tangan dan langsung dievakuasi ke RS Tembagapura.
Kejadian ituadalah awal dari semuanya. Setelah subuh berdarah itu, keadaan berubah drastis. Selain ada tembak menembak lagi yang juga mengakibatkan beberapa orang tewas, seperti Markus Rante Alo seorang Petugas keamanan PT.FI yang juga tertembak pada tanggal 13 Juli 2009 dan juga ada beberapa yang lainnya, ada banyak efek dari tragedi ini.
Beberapa hari setelah Drew tertembak, jalan menuju dan ke Tembagapura di tutup total. Karyawan (orang-orang yang tinggal di Tembagapura) tidak diijinkan untuk ke Timika begitu pula sebaliknya. Karyawan yang terlanjur berada di Timika juga akhirnya tidak bisa ke area kerja mereka.
Kegelisahan dan kecemasan mendominasi perasaan karyawan. Meskipun pasukan TNI dan Polri sudah dikerahkan dengan jumlah yang relatif sangat banyak, tidak serta merta mampu meredam rasa takut masyarakat di sana.
Setelah situasi dirasa aman, pihak managemen perusahaan dan pihak keamanan memberikan ijin untuk karyawan melewati jalan itu dengan catatan harus melalui mekanisme convoi dan dikawal ketat oleh Polisi dan TNI. Namun, penembakan tetap saja terjadi. Bus karyawan beberapa kali mengahadapi teror berupa tembakan-tembakan.
Salah satunya adalah peritiwa pada hari Rabu (22/7/2009) sekitar pukul 11.15 WIT. Kelompok orang yang tak dikenal menembaki konvoi 12 bus karyawan di mile 51. Mobil yang mengangkut pengawal dari Tembagapura terbalik. Seorang anggota Brimob, Brigadir Ismail, tewas dalam insiden tersebut. Empat penumpang lainnya mengalami luka-luka cukup serius. Mobil LWB Jeep yang ditumpangi anggota Brimob tersebut mengalami kecelakaan saat melakukan pengawalan konvoi bus Freeport yang turun dari Tembagapura, Rabu siang.
Menurut informasi, kecelakaan itu bermula ketika mobil konvoi melintas di lokasi kejadian, kemudian diberondong tembakan oleh sejumlah orang tak dikenal dari atas bukit. Mobil pun terbalik. Akibatnya, Brigadir Ismail tewas di tempat, sedang empat prajurit lainnya kritis.
Kejadian-kejadian seperti ini memang tidak berlangsung tiap hari, akhir-akhir ini kejadian juga sangat jarang terjadi. Penembakan terakhir yang mengakibatkan luka-luka terjadi akhir Januari lalu, dan semenjak itu tidak ada lagi kejadian yang sampai menimbukan jatuhnya korban.
[caption id="attachment_190092" align="alignright" width="300" caption="Suasana Konvoi Bus Menuju Timika (dok. pribadi)"][/caption]
Meskipun demikian, pihak perusahaan dan keamanan tidak membuka jalan begitu saja. Jika sebelum tragedi Drew tahun lalu, karyawan bisa melakukan perjalanan dari Timika ke Tembagapura dan sebaliknya kapan saja, namun setelah kejadian itu hanya ada dua kali jadwal perjalanan setiap hari, yaitu pada pagi hari dan siang hari. Dan perjalanan itu harus melalui pengawalan ketat dan waktu perjalanan menjadi lebih panjang dan melelahkan, jika sebelumnya perjalanan bisa ditempuh hanya dengan dua jam saja, sekarang bisa membutuhkan waktu hingga 5-6 jam di hitung sejak antri untuk mendapatkan bus sampai tiba di tempat tujuan.
Saya pribadi begitu prihatin dan menaruh iba bagi karyawan yang memiliki jadwal libur hanya hari sabtu dan minggu atau mereka yang pada hari sabtu masih masuk kerja sampai dengan jam 12 siang. Mereka yang liburnya dimulai sabtu siang, mereka harus segera antri bus setelah mereka keluar kantor dan akan tiba di Timika paling cepat jam 5 sore, dan esok siang (jam 12.00) mereka sudah harus antri lagi untuk bisa mendapatkan bus menuju Tembagapura. Perjalanan yang melelahkan itu mereka tempuh hanya untuk bisa menjumpai keluarga mereka yang di Timika, dan perjumpaan itu hanya mereka rasakan hanya semalam saja dalam seminggu.
Perjalanan yang melelahkan dan mungkin juga menakutkan itu mereka jalani hanya untuk bisa melihat anak, istri dan keluarga mereka. Dan sayangnya, perjalanan penuh resiko itu hanya bisa menghasilakn perjumpaan dengan orang-orang yang dia cintai kurang dari 24 jam. Silahkan hitung saja sendiri, jam 17.00 hari sabtu mereka tiba di rumah, dan jam 12.00 esok harinya mereka sudah harus meninggalkan rumah.
Sebelum tragedi yang tidak ada ujungnya ini, mereka bisa pulang hari sabtu siang dan hanya dua jam mereka bisa sampai Timika, setelah itu baru akan meninggalkan rumah pada minggu malam. Selain bisa menikmati liburan besama keluarga dengan durasi waktu yang lebih lama, mereka juga tidak di buat capek oleh antrian bus serta lamanya perjalanan dan yang paling penting adalah tidak ada rasa khawatir akan keselamatan mereka.
Keadaan ini sudah berlangsung selama setahun, dan entah kapan akah berakhir. Hampir seluruh karyawan PT.FI berharap bisa segera berakhir dan bisa menikmati kembali rasa aman. Pak SBY, anda bisa menjawabnya? []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H