Mohon tunggu...
Lazuardi Ansori
Lazuardi Ansori Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir dan besar di Lamongan, kemudian belajar hidup di Sulawesi dan Papua...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Norman Kamaru Sengsara?

12 September 2014   17:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:53 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="aligncenter" width="606" caption="http://cms.suara.com/media/2014/09/camaru3-e1410403815757.jpg"][/caption]

Norman Kamaru. Dalam beberapa hari terakhir nama itu kembali banyak disebut orang. Gambarnya kembali menghiasi beberapa media online, akan tetapi berbeda dengan saat pertama kali masyarakat mengenal dia. Jika dulu kita melihatnya menggunakan seragam polisi lantas berjoged India, lantas kita menyaksikan dia di layar televisi sebagai seorang artis, maka kali ini wajahnya muncul kembali sebagai seorang pedagang bubur manado.

Pertama saya membaca berita soal ini lewat blog kompasiana, lantas tak berapa lama media online seperti kompas dan liputan6 juga menyajikan berita tentang profesi Norman Kamaru saat ini.

Dari kabar tersebut lantas bertebaran komentar-komentar dari para penghundi media sosial. Ada yang ‘mentertawakan’, ada yang kemudian memberikan simpati kepadanya ada pula yang kemudian nyinyir karena dianggap melakukan kebodohan dengan mundur dari Kepolisian untuk terjun ke dunia keartisan.

Saya tidak punya informasi apa pun soal Norman Kamaru ini, penggemar pun bukan dan sampai detik ini pun saya tidak pernah melihat joged Indianya itu secara tuntas, hanya sepotong-sepotong saat beritanya dulu mencuat. Begitu pula dengan keadaan sekarang, hanya secuil informasi bahwa dia sekarang menjali hidup sebagai seorang penjual bubur.

Berangkat dari minimnya informasi yang saya dapat, saya tidak mau terlampau gegabah menilai apa yang terjadi padanya. Terlebih jika itu penilaian yang cenderung negatif, seperti yang saya tangkap dari respon masyarakat saat mendengar kabar ini.

Ada yang kemudian seolah-olah ingin mengatakan bahwa Norman Kamaru begitu gegabah untuk memilih mundur dari profesinya sebelumnya dan kini menjadi sengsara karena harus menjadi penjual bubur. Bahkan ada media yang kemudian menggunakan redaksi “demi menyambung hidup” untuk pekerjaan yang dilakoni Norman Kamaru saat ini.

Apakah profesi seorang penjual bubur itu kemudian dengan sangat sederhananya dikategorikan sebagai “hanya” bisa untuk menyambung hidup? Apakah lantas kemudian Norman Kamaru saat ini langsung divonis tidak bahagia dengan apa yang dijalaninya kini?

Saat membaca berita ini, saya kemudian share ke halaman facebook saya dengan sebuah kalimat pembuka “Hidup adalah pilihan. Kadang yang menjadi poin utamabukan pada kita memilih apa, namun pada seberapa siap dan serius kita dalam menjalani sesuatu yang telah kita pilih”.

Saya termasuk orang yang sering berganti pekerjaan, melompat dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya. Ada yang mengategorikan saya termasuk orang yang tidak setia, ada juga yang mengatakan saya tergolong tipe orang yang gampang bosan. Namun bagi saya setiap peralihan itu adalah sebuah pilihan hidup yang meski saya jalani.

Setiap peralihan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain tidak selamanya memberikan hasil materi yang lebih banyak dibanding sebelumnya. Bahkan saya pernah berhenti dari suatu perusahaan ke perusahaan lain dengan gaji jauh lebih kecil, bahkan cuma hampir setengah dari gaji saya sebelumnya. Mengapa saya pilih hal tersebut? Ada banyak pertimbangan yang tidak akan mungkin diungkap di sini, itu saya ceritakan sedikit untuk menggambarkan bahwa nilai positif tidak melulu tentang uang.

Materi tidak dipungkiri sebagai faktor utama juga dalam menentukan pilihan. Meski saya menceritakan di atas bahwa saya pernah pindah ke perusahaan yang menggaji saya lebih kecil, saya juga pernah punya pengamalan meninggalkan pekerjaan karena mendapat tawaran perusahaan lain dengan iming-iming gaji dan fasilitas yang lebih banyak dibanding perusahaan sebelumnya.

Sesuatu yang ingin saya ungkapkan adalah, setiap orang kadang atau bahkan sering harus memilih dalam perjalanan hidupnya. Untuk menentukan pilihan memang perlu pertimbangan yang matang, perlu analisa yang detail dan banyak lagi. Akan tetapi, bagi saya yang paling utama sebenarnya bukan pada saat akan menentukan pilihan tersebut. Hal yang paling krusial bagi saya adalah seberapa serius kita menjalani pilihan itu dan seberapa siap kita dalam menghadapi segala resiko yang akan terjadi.

Saya tidak akan kehilangan kebahagiaan ketika pindah ke perusahaan yang menggaji saya lebih kecil, karena sejak awal saya siap menghadapinya. Bahkan di titik pilihan itu, saya malah menemukan kebahagian-kebahagiaan lain yang tidak saya temukan di tempat sebelumnya.

Penyesalan hanya akan menambah rasa sakit tanpa pernah membuat sakit itu mereda. Beberapa hari lalu saya mengantarkan istri ke mall untuk belanja, di tengah perjalanan saya terjebak macet. Istri saya berujar, “Wah, tadi mending lewat belakang (jalan lain), pasti tidak macet.” Saya hanya sedikit menyindirnya, “Kenapa tadi gak bilang saat berangkat.”

Penyesalan telah memilih jalur macet sama sekali tidak membuat macetnya jadi lancar, bukan? Jadi kita nikmati saja, kita jalani hingga kemacetan itu bisa kita lewati. Toh, untuk berbalik arah juga sangat tidak mungkin.

Kita telah memilih jalur itu dengan analisa sebelumnya, bahwa jalan tersebut tidak pernah macet sebelumnya. Namun jika kenyataannya macet, tidak perlu menyesali pilihan, hal paling bisa membatu adalah dengan tetap serius berada di jalur serta menerima tanpa harus ngersulo. Sikap tenang dan siap menerima resiko tersebut membantu tetap konsentrasi dalam berkendara.

Memilih untuk siap menerima resiko juga bisa menambah kebahagiaan karena itu adalah sebuah jalan yang memang harus dijalani.

Norman Kamaru saat ini lebih bahagia atau tidak, biarkan dia yang menjalaninya sendiri. Kita, sebagai orang yang sama sekali tak pernah tahu isi hati dan pikirannya tidak punya tingkat kedigdayaan apa pun untuk kemudian menjatuhkan vonis bahwa dia sedang sengsara. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun