Mohon tunggu...
Lazuardi Ansori
Lazuardi Ansori Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir dan besar di Lamongan, kemudian belajar hidup di Sulawesi dan Papua...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wabah Politikus Serang Rakyat Awam

29 September 2014   22:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:02 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangat menarik untuk disimak segala hiruk pikuk berita politik belakangan ini. Negeri ini kembali diramaikan dengan manuver yang dilakukan oleh Koalisi Merah Putih (KMP) atas undang-undang yang mengatur bahwa Pemilihan Kepala Daerah tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat, akan tetapi dipilih oleh DPRD.

Secara pribadi saya tidak kabet sejak wacana ini dihembuskan. Ketika segala upaya untuk menggugat hasil Pilpres kemarin gagal, saya telah menduga bahwa setelah ini KMP akan melakukan sesuatu untuk tetap bisa berkuasa. Apa yang dilakukan oleh KMP adalah bagian dari strategi untuk berkuasa, ketika tampuk pimpinan negeri ini gagal mereka ambil, maka mereka berupaya untuk merebut kursi-kursi kepemimpinan di daerah-daerah.

Sebagai perilaku politik, apa yang dilakukan oleh KMP ini bukan hal yang salah. Saya masih menilai bahwa tujuan berpolitik adalah berkuasa untuk menggoalkan program-programnya demi masyarakat. Secara normatif, apa yang diusung oleh barisan KMP ini sangat wajar dan bisa diterima dalam kacamata politik.

Bagi saya, Pilkada langsung ataupun lewat DPRD bukan masalah. Sebatas yang saya pahami, bahwa Pilkada langsung ataupun lewat DPRD masih masuk dalam koridor konstitusi. Meskipun saya berpendapat bahwa Pilkada langsung oleh rakyat “kadar kedemokrasiannya” lebih tinggi dibanding dengan diwakilkan oleh DPRD.

Berdasar keyakinan saya tersebut, saya mengambil posisi untuk tidak larut dalam argument setuju atau tidak setuju dengan keputusan DPR tentang pemilihan kepala daerah tersebut. Menurut saya, perdebatan itu sudah tidak menarik. Saya malah tertarik dengan segala argument yang dibangun oleh partai-partai serta simpatisannya.

Sungguh, saya terhibur oleh perilaku orang-orang partai yang katanya mendukung Pilkada langsung tapi kemudian walk out, lantas kemudian membangun opini bahwa sebenarnya dia tidak mendukung pilkada tidak langsung. Saya menikmati aksi kesedihan yang ditampilkan di berbagai media, termasuk youtube.

Ini pemandangan yang sungguh menarik. Rancangan Undang-Undang ini sudah lama di meja DPR, lantas tiba-tiba muncul kepermukaan dengan dalih “Demokrasi Pancasila”. Kembali saya tekankan bahwa bagi saya memunculkan kembali ide soal Pilkada tidak langsung ini wajar jika ini dipandang sebagai peristiwa politik, akan tetapi memunculkan pembenaran juga jangan keterlaluan. Ada sesesorang yang saya kenal mengunggah sebuat opini di halaman facebook, yang menyatakan bahwa Pilkada lewat DPRD ini sesuai dengan sila ke 4 Pancasila. Lantas saya lempar guyonan dikolom komentarnya, kenapa tidak hompimpa aja, karena itu sesuai dengan sila pertama Pancasila, karena berdasarkan nasib yang telah ditentukan oleh Tuhan.

Masih dalam opini soal demokari Pancasila tadi, saya kemudian melempar kembali pendapat bahwa jika pemilihan langsung itu “tidak Pancasila”, artinya Presiden kita sejak Pak Susilo Bambang Yudhoyono itu tidak Pancasila? Apakah kemudian Kepala Desa yang sejak puluhan tahun yang lalu dipilih langsung oleh rakyat juga tidak Pancasila?

Lantas ada pula yang berpendapat bahwa dengan pemilihan langsung biaya yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah sangat besar, salah satunya karena harus “membeli suara” rakyat lewat serangan fajar dan lain-lain. Jika memang ini yang dikhawatirkan, apakah sudah ada jaminan bahwa anggota DPRD nantinya suaranya tidak bisa dibeli? Siapa yang mampu meberikan jaminan bahwa biaya pembelian suara itu jauh lebih murah?

Dikesempatan lain, ada juga yang kemudian mengunggah pernyataan dari para politikus yang saat ini pro terhadap pemilihan langsung. Pernyataan itu keluar tiga atau empat tahun yang lalu, dalam pernyataan itu mereka setuju Pilkada secara langsung itu dihapuskan. Orang-orang yang pro terhadap sikap KMP ini kemudian “mempertanyakan” perubahan sikap para politikus itu. Ini bikin saya tersenyum, karena setahu saya Partai Keadilan Sejahtera juga berubah sikap, dulu setuju dengan Pilkada langsung namun kini putar haluan menjadi tidak setuju. Ini bukan suatu kehinaan, dalam politik ini sesuatu yang wajar-wajar saja. Saya memaklumi sikap PKS yang kini pro terhadap pemilihan tidak langsung, pun juga sikap Pak Jusuf Kalla dan Surya Paloh yang dulu setuju Pilkada langsung dihapuskan.

-----

Wabah politikus kini sudah menyerang rakyat lapisan awam. Rakyat pada level simpatisan kini sering terjebak ikut berargumen layaknya politikus pujaannya tanpa bener-bener mampu memahami sepenuhnya. Hal ini bagi saya ini jauh lebih dahsyat mudhorotnya dibanding soal Pilkada langsung atau bukan. Saya sama sekali tidak paham apakah ini bentuk pura-pura tidak tahu atau ekspresi cinta terhadap tokoh pujannya sehingga apa yang diutarakan oleh kelompok yang didukungnya itu ditelan begitu saja. Ini jadi persoalan mental.

Saya yakin, jika politikus akan dengan mudah menjawab pertanyaan saya soal apakah Kepala Desa itu tidak pancasila karena dipilih langsung. Akan tetapi teman saya di facebook mungkin masih level simpatisan, maka sampai saya menulis artikel ini belum memberikan jawaban atas pertanyaan saya.

Jika yang saya tanya soal jaminan bahwa biaya pilkada lewat DPRD tidak akan mahal dan tidak ada korupsi adalah politikus sejati, maka akan dengan sangat ringan dia berkilah. Akan tetapi jika yang saya tanya hanya kelas “team hore”, maka akan kesulitan untuk menentukan jawabannya.

Karena sadar akan kelas saya yang masih level cecurut, maka saya berargumen secara sederhana saja soal pilkada langsung atau tidak langsung ini. Sudah ketok palu bahwa Pilkada ini akan dilakukan lewat DPRD, maka saya bersyukur atas hal itu. Dengan demikian, rakyat terhindar dari dosa money politic. Begitu mulia tujuan para anggota DPRD itu, semoga mereka masuk surga. Tapi jika ternyata money politik itu masuk kantong anggota DPRD, maka kita yakin saja bahwa neraka jahanam itu benar adanya. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun