Mohon tunggu...
Layla Lubna Irwandy
Layla Lubna Irwandy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berkuliah di Universitas Airlangga jurusan Teknik Lingkungan

Seorang mahasiswa yang selalu belajar dan berusaha

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk Penambahan Pembiayaan Kesehatan (SDG 3)

23 Mei 2024   13:30 Diperbarui: 23 Mei 2024   13:50 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Setelah terus mengalami defisit anggaran dalam beberapa tahun terakhir, BPJS Kesehatan akhirnya akan mendapat suntikan dana sebesar Rp4,9 triliun dari pajak rokok daerah.Jika ditotal, prediksi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada tahun 2018, termasuk di dalamnya pengalihan (carry over) defisit dari 2017, mencapai Rp10,98 triliun. Rencananya, penerimaan BPJS Kesehatan dari pajak rokok diperkirakan mencapai Rp5,51 triliun atau setara 75 persen dari 50 persen pajak rokok yang diterima daerah. Namun upaya pemerintah dalam menanggulangi keuangan BPJS tersebut tidak sesuai dengan gerakan pengendalian tembakau. Peraturan Menteri Kesehatan 40/2016 menyebut pajak rokok harus digunakan program pengendalian konsumsi rokok dan produk tembakau lain. Selain itu, ada pula delapan program yang dapat memanfaatkan pajak rokok, antara lain penurunan resiko penyakit menular, peningkatan gizi masyarakat, pembangunan serta pemeliharaan puskesmas.

Kebijakan pemerintah mengalihkan pajak rokok daerah untuk menutup defisit anggaran BPJS cukup kontradiktif. Bukannya mencegah produksi dan konsumsi rokok, pajak dari rokok itu kini justru dialokasikan untuk pembiayaan penyakit, yang beberapa juga disebabkan zat berbahaya dalam rokok. Merujuk ke data total beban penggunaan anggaran BPJS Kesehatan di Tahun 2017, dari total Rp54,47 triliun JKN, sebanyak Rp15,29 triliun atau 33,62 persen habis untuk membiayai penyakit katastropik (penyakit berbiaya tinggi) yang terdiri dari penyakit jantung (48 persen), gagal ginjal (20 persen), kanker (17 persen), stroke (8 persen), thalasemia (3 persen), chirrosis hepatitis (2 persen), leukemia (1 persen), haemofilia (1 persen). Penyebab paling dominan penyakit-penyakit katastropik tersebut, yang pada umumnya bisa dicegah, adalah konsumsi rokok. Penyakit penyakit yang ditimbulkan oleh rokok tersebut akan membuat produktivitas masyarakat terganggu dan merugikan suatu negara, karena negara membutuhkan rakyat yang sehat. 

Dengan menggalangkan dana rokok untuk pembayaran bpjs pemerintah seakan akan mengajak masyarakat untuk terus membeli rokok sebagai suntikan dana pembayaran bpjs mereka. Pemikiran ini dikemudian hari dapat menimbulkan siklus negatif dimana penyakit yang diakibatkan oleh rokok semakin tinggi membuat pendanaan bpjs semakin banyak, namun suntikan dana dari para perokok terap berjalan. Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia, yakni 67 persen dari total jumlah perokok laki-laki di seluruh dunia (data WHO), ada penerimaan yang cukup besar dari cukai dan pajak rokok yang bisa digunakan untuk pembiayaan layanan kesehatan. Penyakit yang disebabkan rokok adalah jenis penyakit yang paling banyak menghabiskan anggaran BPJS Kesehatan. Keputusan pemerintah mengalokasikan pajak rokok dan cukai hasil tembakau untuk menutup defisit BPJS Kesehatan telah membuat para perokok merasa sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Bahkan, seorang ketua sebuah organisasi kepemudaan sampai mengeluarkan pernyataan untuk mengajak masyarakat agar terus merokok guna membantu pemerintah.

Namun apabila para perokok ini tidak diatasi dan tetap menggunakan pajak rokok sebagai suntikan dana bagi bpjs maka lambat laun masyarakat pengonsumsi rokok fungsi tubuhnya akan menurun dan terserang penyakit akibat merokok, tentu saja biaya pengobatan penyakit tersebut bisa jauh lebih besar dari pajak yang telah dibayarkan si perokok selama ia merokok. Oleh karena itu, alih-alih meningkatkan produksi rokok, pemerintah justru harus menekan produksi rokok, terutama dari industri skala besar. Pemerintah harus berani melakukan moratorium produksi rokok. Salah satu caranya adalah dengan menaikkan tarif cukai rokok secara signifikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun