Mohon tunggu...
Layla el Fitri Maghfiroh
Layla el Fitri Maghfiroh Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Psychology for my life

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kematian dan Manusia

6 Januari 2014   21:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Martin Heidegger, pemikirannya yang mendasar dan fokus pada satu pemikiran yakni eksistensialis, membuatnya dikenal dunia dengan satu kalimatnya. "Bukan apanya yang di dahulukan tetapi bahwasanya yang di dahulukan". Martin Heidegger sendiri merupakan seorang filsuf muda Jern dengan pemikiran tentang eksistensi. Pada tanggal 26 September 1889 ia dilahirkan di kota kecil Messkirch dan ayahnya merupakan pendeta katolik bernama Santo Martinus. Pada mulanya ia belajar teologi di Feirdburg, hingga akhirnya ia memutuskan utuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan manusia. Kala itu Heinrich Rickert yang memegang fakultas filsafat di Freidburg, setelah ia meninggal barulah digantikan oleh Edmund Husserl yang terkenal dengan aliran fenomenologinya. Kedatangan Husserl membawa perubahan penuh bagi Heidegger dengan pemikiran fenomenologinya yang kemudian oleh Heidegger karya - karya dari Husserl ini dipelajari. Husserl sangat terkagum dengan kecerdasan HEidegger dan mengangkatnya sebagai asisten dan beranggapan bahwa ia akan meneruskan fenomenologinya.

Banyak filsuf yang menyamakan antara being (sein; ada, manusia) dengan beings (seined, benda) sehingga mereka akan menganggap bahwa manusia itu sama halnya dengan benda. Menurut Heidegger pertanyaan tentang hakikat "ada" itu dapat dijawab secara ontologis dengan menggunakan metode fenomenologi yang ia pelajari dari Husserl. Metode ini digunakan Heidegger untuk menjelaskan tentang tentang kesadaran kepada kemanusiaannya dan berbanding terbalik dengan Husserl yang menggunakan metodenya untuk menjelaskan "kesadaran" manusia.

Mengapa Heidegger menjadikan "ada" (being) sebagai filsafatnya. Pertama, situasi zamannya yang kosong akan kesadaran Tuhan disebabkan karena kosongnya makna "ada" bagi manusia modern. Hanya mengerti Sang Ada saja, eksistensi manusia akan menjadi sejati. Kedua, ketidakmampuan manusia dalam memahami Tuhan dan tidak mampu menangkap kehadiranNya disebabkan bahasa lisan mengenai "ada' tidak didengarkan dan tidak dikembangkan lagi sehingga harus berusaha menemukan sang Eksistensi, yaitu "ada" untuk dibahasakan kembali dan diberi arti baru.

Dua struktur "ada" ini dibahas dalam adanya manusia dengan metode fenomenologi Husserl. Cara berada manusia menunjukkan kesatuan dengan alam jasmani. Manusia selalu mengkonstruksikan dirinya dalam alam jasmani menjadi satu susunan. Dengan kata lain, manusia selalu membelum: ia sedang ini, sedang itu. Jadi manusia itu selalu menyedang. Sartre menyatakan bahwa hakikat beradanya manusia bukan etre (ada), melainkan a etre (akan/sedang). Jadi manusia selalu membangun ada-nya.

Manusia hidup di dunia dibedakan atas dua jenis yakni, laki-laki dan perempuan. Begitu hanya nilai dalam kedhidupan berupa baik-buruk, indah-jelek, benar-salah, serta hidup-mati. Dalam kehidupan di dunia manusia dibebaskan menilih untuk melakukan semua hal. Begitu halnya melakukan kebaikan dan keburukan setiap waktu. Banyak sekali manusia yang mementingkan kehidupan dunia dari pada kehidupan akhiratnya. Dunia bagi mereka adalah yang terpenting dan utama untuk mewujudkan semua keinginan, tetapi bila sudah sampai pada pertanyaan, siapkah mati sekarang? Mereka terus berusaha untuk menghindar dan mencari cara untuk hidup abadi. Tidak sedikit dari mereka yang menuuhankan sesuatu yang mistis dan kermat selain Tuhan. Maka dari itu, manusia diberi akan untuk berfikir dan memutuskan sesuatu sebelum melakukan sesuatu.

Dalam konteks ini, kematian sering menjadi momok yang menakutkan. Manusia sering bertanya dalam hati, bila sudah mati berarti berakhir dari kehidupan dan sudah tidak ada kehidupan yang lainnya. Menurut agama pertanyaan seperti itu salah besar, karena kematian bukanlah akhir dari kehidupan melainkan fase menuju kehidupan yang sebenarnya. Dimana manusia mendapat balasan dengan apa yang telah dilakukannya selama di dunia.Mereka berfikir, bagi mereka yang melakukan hal baik ditampakkan sebuah potret kebahagiaan dan kehidupan enak di surga. Sedangkan mereka yang sering melakukan kejahatan dan selalu melakukan dosa akan mendapatkan siksaan sampai kiamat kelak tiba. Masalah kebahagiaan dan siksaan di alam akhirat nantinya merupakan hal yang ghaib dan hanya Tuhan yang mengetahuinya.

Bagi mereka yang berfikir praktis dengan keilmuan yang terus berkembang, kematian adalah suatu siklus kehidupan yang akan dialami oleh semua makhluk yang hidup di dunia. Alam akhirat merupakan alam dimensi lain yang abadi dan berbeda dari kehidupan di dunia sebelumnya. Manusia sangat mankuti kematian karena mungkin mereka berfikir akan mengalami kehidupan yang berbeda dari dunia sebelumnya dan itu dipastikan. Mereka harus melupakan baik-buruk, indah-jelek, benar-salah. Mereka akan melupakan semua orang-orang yang didekatnya dan berfikir untuk dirinya sendiri.

Kematian merupakan konsekuensi kehidupan bagi manusia maupun makhluk lainnya yang ada di alam semesta dan jagad raya. Dalam kematian, manusia dihadapkan dua hal, yakni kematian merupakan resik kehidupan dan karenanya tidak seorang pun yang hidup kecuali akan mati. Selanjutnya, makin banyak orang yang disentuh oleh malapetaka, makin ringan sentuhan hati mereka. Sedangkan, malapetaka kamatian menyentuh semua orang dan seharusnya tidak menimbulkan kesedihan yang berlarut-larut. Karena manusia diciptakan Allah dengan tujuan utama bahwa ia berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya. Ada kematian merupakan jalan menuju kehidupan yang sebenarnya, yakni kehidupan yang asal, kehidupan yang tidak terkena maupun tersentuh oleh kematian.

Bicara tentang kematian, selama hidupnya Heidegger mempunyai sebuah karya yang paling penting sebuah buku berjudul Being and Time (German Sein Zeit, 1927). Meskipun karya yang terbit hanya sepertiga dari total rencana keseluruhan sebagaimana tampak dalam pengantarnya namun karya ini menunjukkan satu titik balik dalam filsafat kontinental. Karya ini berpengaruh luas dan besar serta masih menjadi salah satu karya yang paling banyak dibicarakan pada abad ke-20. Banyak paham filsafat, seperti eksistensialisme dan dekonstruksi yang berhutang banyak pada Being and Time.

Dalam karya ini, Heidegger mempertanyakan makna dari ada: apa maknanya entitas dikatakan ada? Pertanyaan ini adalah satu pertanyaan mendasar dalam cakupan wilayah ontologi. Dalam pendekatannya Heidegger terpisah dari tradisi Aristetolian dan Kantian yang mendekati pertanyaan itu dari sudut pandang logika. Secara implisit mereka mengatakan bahwa pengetahuan teoritis mewakili relasi mendasar antara individu dan ada di dunia sekitarnya (mencakup juga dirinya sendiri).

Heidegger menolak tesis ini dengan mengawali pendekatannya dari fenomena keterlibatan yang disebutkan sorge. Perilaku manusia adalah sebuah keterlibatan secara aktif dengan objek keseharian disekelilingnya. Fakta mendasar dari eksistensi manusia adalah bahwa  'kita telah ada di dalam dunia'. Dunia adalah karakter dari ada di dalam dunia yang selanjutnya disebut sebagai das sein.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun