[caption id="attachment_410742" align="aligncenter" width="600" caption="Anak membaca/Tribunnews.com"][/caption]
Sebulan terakhir, saya dan beberapa teman mengelola sebuah rumah baca. Buku-buku di rumah baca kami berasal dari koleksi pribadi dan beberapa orang teman yang dengan sukarela menitipkan buku-bukunya. Pada awalnya, target pembaca yang kami bidik adalah kalangan mahasiswa. Maka kami menyewa sebuah rumah sederhana di dalam sebuah komplek perumahan yang terdapat banyak kost mahasiswa dan aksesnya dekat dari beberapa kampus di Makassar.
[caption id="attachment_410715" align="aligncenter" width="346" caption="Ryan, 12 tahun"]
![1429246588339532916](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1429246588339532916.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
Nyaris tiap hari, rumah baca kami mendapat banyak kunjungan. Namun saya sama sekali tidak menyangka, di antara sekian banyak pengunjung, yang paling antusias adalah anak-anak yang tinggal di dalam kompleks. Mulanya hanya seorang. Lalu esoknya, yang seorang ini memanggil belasan orang temannya yang lain. Lalu kemudian mereka terus saling memanggil teman.
Anak-anak ini tidak sekedar penasaran, melihat-lihat, lalu pulang. Mereka tidak rela pulang jika tak membawa sebuah buku untuk mereka baca di rumah. Ada yang pesan dibelikan komik. Ada pula yang tak peduli, langsung memilih saja buku yang sampulnya menarik. Sayangnya, buku-buku yang kami miliki, sebagian besar belum cocok dibaca anak-anak usia SD. Maka setiap anak-anak ini datang, kami menyisir deretan buku di lemari untuk mencari beberapa buku yang cocok untuk mereka. Beruntung, ada beberapa buku dongeng.
Antusiasme anak-anak ini kemudian mendorong kami mencari buku anak-anak. Dengan budget pas-pasan, kami mengunjungi toko buku bekas di Makassar untuk mencari komik dan buku dongeng. Awalnya, saya tidak setuju mencari komik. Saya lebih memilih buku cerita anak-anak atau buku dongeng. Tapi pacar saya mengomel. Dia bilang, “Hahhh, kamu pikir penulis-penulis besar tidak suka komik? Eka Kurniawan itu penggemar komik Pendekar Mabuk. Seno Gumira Ajidarma penggemar komik Tintin bla bla bla... Orang-orang Jepang, mengawali bacaan dari komik. Makanya komik yang beredar sebagian besar buatan orang Jepang.”
Saya pikir dia benar juga, jadi saya mengalah. Saya menuruti sarannya. Ternyata kami beruntung menemukan buku-buku terbitan Elex Media Computindo yang dijual dengan diskon besar-besaran di Makassar Town Square. Ketika buku-buku tersebut tiba di rumah baca kami, tak terkira suka cita mereka. Mereka berebutan ingin membaca. Ada yang mencaplok buku tertentu dan melarang saya meminjamkannya kepada anak lain. Ada yang membawa pulang, ada pula yang membaca di tempat.
![14292469252029134954](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14292469252029134954.jpg?t=o&v=700?t=o&v=770)
Kehadiran anak-anak ini membuat saya berpikir satu hal: saya terlambat menyadari, bahwa minat baca anak-anak Indonesia tidak rendah, seperti yang selama ini diucapkan para pakar pendidikan atau yang banyak dituliskan dalam artikel-artikel. Saya rasa, sangat tidak benar jika para pemerhati pendidikan mengatakan bahwa minat baca anak-anak Indonesia rendah. Antusiasme anak-anak di dalam kompleks tempat tinggal kami, saya pikir bisa menjadi acuan saya dalam menarik kesimpulan tersebut.
Anak-anak tersebut, sangat tahu bahwa “Buku adalah Jendela Dunia”, sebuah semboyan usang yang senantiasa diperdengarkan kepada mereka di bangku sekolah, atau mereka baca entah di mana. Sayangnya, semboyan itu sekedar semboyan. Tidak ada dorongan lebih jauh untuk membuat mereka senantiasa dekat dengan buku. Tidak dari orang tua mereka, tidak juga dari guru di sekolah. maka tak heran jika bagi anak-anak, semboyan itu nyaris tanpa makna. Mereka tak paham bagaimana menemukan jendela untuk menatap dunia lewat sebuah buku. Kesimpulannya, mereka tidak membaca karena tidak menemukan tempat untuk membaca. Maka saat melihat perpustakaan mungil kami, wajah kanak-kanak mereka berbinar, girang bukan main.
Saya tidak akan membuat sebuah survei atau penelitian tentang seberapa besar minta baca anak-anak. Jika indikatornya dilihat dari seberapa banyak buku yang mereka baca dalam sebulan atau setahun, tentu saja hasilnya sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Tapi setidaknya, pengalaman saya ini yang membuat saya berani menarik kesimpulan bahwa: pada dasarnya anak-anak Indonesia memiliki minat baca yang tinggi. Hanya saja, tidak ada yang mengarahkan dan mendorong mereka. Barangkali di sekolah, para guru tidak pernah mengarahkan mereka untuk membaca buku di perpustakaan, atau memperkenalkan nama-nama sastrawan (jika sama dengan pengalaman saya sewaktu sekolah). Dan di rumah, masih sangat jarang ada orang tua yang berinisiatif mengajak anak-anak mereka ke toko buku. Alih-alih membelikan buku, para orang tua jaman sekarang lebih semangat membeli gadget untuk anak mereka. (Suatu hari, seorang kenalan saya pusing memikirkan jenis dan merk tablet yang murah dan cocok untuk anaknya main game sehari-hari).
Di sisi lain, perkembangan teknologi tak dapat dibendung. Tingkat kemapanan seseorang, status sosial di mata masyarakat, dinilai dari seberapa canggih gadget yang mereka punya. Semakin canggih tentu semakin mahal, yang berarti semakin tinggi nilai seseorang dalam lingkungan sosial. Dan demi mengejar nilai tersebut, tak jarang mereka memaksakan diri. Fenomena ikut-ikutan meluas. Anak-anak SD membawa gadget mahal ke sekolah adalah pemandangan biasa.
Kondisi ini membuat kami memikirkan sebuah misi. Saya percaya pada kekuatan fenomena ketok tular. Saya juga yakin, orang Indonesia pada umumnya senang ikut-ikutan. Misalnya, jika seorang ibu melihat seorang anak asyik bermain game, maka para ibu lain yang melihat akan merasa galau jika anaknya tidak memiliki mainan serupa. Saya yakin, hal ini bisa berlaku terhadap kebiasaan membaca buku. Kepada anggota rumah baca kami, saya mengajak mereka menjadi agen ketok tular untuk menularkan semangat membaca. Saya mengajak mereka membiasakan diri membawa bacaan saat nongkrong di kafe, saat menunggu angkutan umum di halte, atau saat jalan-jalan di mall. Dengan membiasakan hal ini, saya berharap suatu saat nanti akan semakin banyak remaja yang mengikuti dan menjadikannya sebagai sebuah tren, barangkali, jika merunut pada apa yang diungkapkan Malcolm Gladwell dalam bukunya, Tipping Point, tentang kunci menyebarkan sebuah tren, agar tren yang bermanfaat bisa meluas laksana sebuah wabah penyakit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI