Kemarin, saya berkomunikasi dengan seorang perempuan bernama Alex Tjoa via Facebook dan Twitter. Ia seorang fotografer, kelahiran Palembang, pernah menikah dengan seorang penulis Swedia, Jonas Jonasson. Salah satu novel Jonas Jonasson, The 100-Year-Old Man Who Climbed out The Window and Disappeared, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Novel ini juga telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa lain dan menjadi best seller.
Saya sendiri, juga merasa terpesona dengan novel tersebut. Yang membuat saya terkesan adalah, bagaimana ia menyiapkan satu bab khusus di novel tersebut tentang Indonesia. Meskipun saya tak mengenal Jonasson, saya mengambil kesimpulan bahwa dia pasti memiliki kesan khusus terhadap Indonesia, tidak mungkin tidak.
Komunikasi saya dengan Alex yang terjadi tanpa sengaja menjawab kecurigaan saya tersebut. Semuanya berawal ketika saya memposting foto sampul tersebut di instagram.Foto tersebut mendapat komentar dari sebuah akun #SaveJonatan. Awalnya saya acuhkan, karena saya pikir, mungkin komentar tersebut berasal dari seorang pembaca seperti saya, yang juga mengidolakan Jonasson. Tapi komentar tersebut terlalu panjang untuk saya abaikan, sehingga saya membacanya dari awal sampai akhir.
Akun #SaveJonatan tersebut menceritakan tentang siapa Jonas Jonasson, yang saya ceritakan kembali seperti berikut:
Sebelum jadi penulis, Jonasson adalah seorang pengangguran, bekas wartawan, yang bertahan hidup dari nafkah yang dicari istrinya. Sang istri, seorang perempuan cerdas, adalah seorang keturunan Indonesia-Tionghoa yang berasal dari Palembang, juga seorang fotografer yang selalu mengkampanyekan gaya hidup sehat. Namanya Alex Tjoa. Ia bisa diakses di www.alextjoa.com. Semasa bersama, Alex kerap menceritakan kepada Jonasson tentang Indonesia. Dan karena itulah Jonasson bisa dengan bebas bercerita tentang Indonesia dalam novelnya meskipun ia sendiri belum pernah ke sana.
Ketika Jonasson menjadi populer dan kaya raya dari hasil penjualan novelnya, ia menceraikan Alex (atau keduanya bercerai). Pengadilan di Swedia memutuskan bahwa hak asuh anak mereka—Jonatan Jonasson Tjoa (2 tahun)—harus mereka tanggung bersama. Tapi dengan tipu muslihat, Jonasson membawa Jonatan dan tak mau mempertemukannya dengan Alex sejak 2009 sampai saat ini. Jonasson bahkan pindah ke sebuah pulau. Demi bisa bersama anaknya, Alex ikut pindah ke pulau tersebut. Tapi Jonasson memfitnah Alex, menyewa saksi palsu di pengadilan yang bersaksi bahwa Alex memberi makanan buruk, seperti es krim yang tidak sehat untuk Jonatan. Tak hanya itu, Jonasson mengapus nama Tjoa pada nama Jonatan. Ia tak mau Jonatan tahu bahwa ia punya darah Indinesia-Tionghoa dalam tubuhnya.
Kesulitan yang diakibatkan oleh fitnah Jonasson membuat Alex sulit mendapatkan pekerjaan lagi di Swedia. Alex pernah membuat petisi di change.org untuk bisa dipertemukan dengan anaknya. Tapi Jonasson menuduh Alex melakukan pencemaran nama baik. Di pengadilan, ia tidak menyebut bahwa apa yang disebarkan Alex adalah sebuah petisi, bukan pencemaran nama baik.
Alex beberapa kali mengirim surat untuk Jonatan ke alamat sekolahnya. Surat tersebut, oleh guru Jonatan, langsung menyerahkan surat tersebut kepada Jonasson. Sementara Jonasson, tidak pernah mau membacakan surat tersebut untuk Jonatan.
Akun instagram tersebut melampirkan 3 buah link. Link group dukungan untuk Alex-Jonatan di Facebook, link website Alex (www.alextjoa.com), dan link www.savejonatan.blogspot.com. Karena saya tidak ingin berburuk sangka dan terpengaruh oleh isu yang belum jelas kebenarannya, saya mengecek ketiga link tersebut. Saya sempat berpikir, bisa saja akun di instagram tersebut dibuat oleh seseorang yang iri dengan kehidupan Jonasson, yang kini berubah total setelah novelnya menjadi bestseller di hampir seluruh dunia. Setelah saya mengecek ketiga link tersebut, saya nyaris tidak menemukan kebohongan.
Hari ini juga, saya tersadar mengapa Jonasson dalam novelnya memilih Palembang, sebagai kota di mana ia mendapat maskapai yang bersedia menjemput gajahnya di Swedia untuk diterbangkan ke Bali. Ya, tentu saja karena Palembang adalah kota yang paling dia kenal dan paling dia hapal namanya dari cerita-cerita Alex.
Alex juga membeberkan pada saya, salah satu kisah pada novel tersebut, adalah kisah salah seorang temannya yang ia ceritakan pada Jonasson. Misalnya tentang kisah Mao Einstein, putra Amanda dan Herbert Einstein, yang ia sadur dari kisah salah seorang temannya, Estherlita Suryosaputro.
Saya tidak mengenal siapa sesungguhnya Jonas Jonasson dan Alex Tjoa. Urusan pribadi dan urusan rumah tangga keduanya, tentu bukan urusan saya. Saya sekedar satu dari jutaan pembaca yang kagum pada tulisan Jonasson. Saya pun tahu, bahwa sepasang suami istri yang bercerai tentu punya alasan kuat, dan alasan keduanya juga bukan urusan saya. Tapi saya tahu, saya harus mendukung Alex Tjoa. Ada beberapa alasan yang saya punya mengapa saya memberi dukungan penuh pada Alex:
- Saya dan Alex sama-sama seorang perempuan. Atas nama apa pun, demi apa pun, saya akan membela sesama perempuan, karena saya tahu bagaimana rasanya menjadi perempuan.
- Alex adalah orang Indonesia, ia adalah bagian dari kami.
- Saya belum menikah, tapi saya tidak tahu kelak apa yang terjadi pada saya jika saya telah menikah dan punya anak.
- Saya bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang ibu yang dipisahkan secara paksa dari bayinya yang berumur 2 tahun, dan tidak bertemu selama 6 tahun, dan di negeri asing pula.
- Saya banyak bertemu dengan anak-anak dari keluarga yang terpisah, tidak memiliki orang tua lengkap. Saya tahu, mereka anak-anak yang menderita. Saya tidak kenal Jonatan dan tidak pernah bertemu dengannya, tapi saya yakin ia merindukan ibunya. Tak ada kasih sayang paling besar yang pernah dirasakan manusia selain dari ibu (normal) yang mengandung, melahirkan, dan pernah menyusuinya.
Semoga Alex tak pernah lelah memperjuangkan hak untuk bertemu dan mengasuh anaknya. Dan publik di seluruh dunia harus tahu, bahwa seorang Jonas Jonasson--meskipun ia menulis dengan sangat bagus—bukanlah apa-apa. Sehebat apa pun ia, ia tak pantas diidolakan jika ia dengan kejam melakukan kekerasan kepada perempuan dan anak kecil. Saya menyampaikan tulisan ini bukan agar Jonatan kehilangan fans dan popularitas. Saya hanya ingin Alex bertemu dengan Jonatan.
Semoga perjuangan Alex membuahkan hasil. Semoga Alex selalu mendapat energi positif dari orang-orang yang mendukungnya. Semoga ia bisa berkumpul dengan Jonatan. Semoga Jonatan tumbuh jadi anak sehat dan pemberani. Semoga Jonasson mau membuka hati, dan mau mengingat masa-masa kebersamaan dengan Alex ketika ia sedang sekarat.
#SAVEJONATAN
Makassar, 25 April 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H