Sebagai seorang yang menggeluti bidang keteknikan, tentunya tidak bisa dipisahkan dari ilmu matematika dan fisika. Semuanya terukur dan pasti. Berbagai rumus dan teori menjadi makanan sehari-hari.Â
Semuanya bisa dihitung karena setiap besaran memiliki satuannya masing-masing. Dalam ilmu fisika besaran adalah segala sesuatu yang dapat diukur, mempunyai nilai yang dapat dinyatakan dengan angka, dan memiliki satuan tertentu. Sedangkan satuan adalah pernyataan yang menjelaskan arti dari besaran. Misalnya panjang satuannya meter, waktu satuannya detik, kuat arus listrik satuannya ampere dan masih banyak besaran dan satuan lainnya.
Berbicara tentang seni, keindahan dan perasaan bagi saya berbeda dengan ketika saya mempelajari ilmu-ilmu eksakta. Dalam hal keindahan dan perasaan tidak ada besaran dan satuan yang pasti. Keindahan dan perasaan sulit diukur dan diberi angka. Dalam sebuah lagu sekolah minggu ada yg menyatakan bahwa kasih Tuhan itu lebih indah dari pelangi, lebih indah dari bintang dilangit, lebih indah dari bunga di padang.Â
Pertanyaannya: indahnya itu seberapa? Berapa angkanya? Apa satuannya? Bagitu juga dengan perasaan seperti benci, marah, bahagia, cinta, sayang dan lainnya. Ada yg mengatakan "aku lebih sayang kamu dari pada dia" bahkan ada yg mengatakan "cintaku padamu lebih besar dari pada dia" sayangnya itu seberapa?Â
Cintanya itu seberapa? Berapa angkanya? Apa satuannya? Pertanyaan pertanyaan seperti ini tentunya sulit untuk dijawab karena tidak ada besaran dan satuan yang jelas. Mungkin karena hal ini lah kita sulit membedakan mana cinta yg tulus mana cinta yg modus. Andaikan perasaan ada besaran dan satuannya mungkin tidak ada orang yang terluka karena cinta.
 Sebagai seorang yang menggeluti bidang teknik secara khusus Teknik Elektro yang juga "terdampar" di bidang karawitan saya mencoba menjawab keprihatinan yang saya alami sendiri dalam bidang karawitan atau gamelan lebih luasnya.Â
Gamelan kurang mendapat tempat dalam masyarakat saat ini, secara khusus bagi kaum mudanya. Menurut hemat saya hal ini disebabkan oleh proses sosialisai yang kurang karena harga perangkat gamelan yang mahal sehingga tidak banyak orang yang mampu membeli gamelan. Begitu juga dengan kesan kuno sehingga kurang menarik minat kaum muda saat ini.
Saya mencoba membuat suatu perangkat yg menyerupai instrumen demung (purwarupa) namum keseluruhannya terbuat dari kayu termasuk bilahnnya sehingga suara yg dihasilkan merupakan suara rekaman demung konvensional dalam bentuk audio digital. Ketika bilah demung di tabuh suara rekaman demung akan keluar dari speaker. Kuat lemahnya tabuhan yang diberikan akan mempengaruhi volume suara yang di hasilkan.Â
Jika di tabuh lemah maka suara yang dihasilkan lirih sedangkan jika di tabuh kuat maka suara yang dihasilkan akan keras. Dengan rekayasa seperti ini harapannya bisa menekan biaya pembuatan demung yang lebih murah sehingga banyak orang yang bisa memiliki gamelan. Disamping itu saya mencoba membuktikan bahwa tidak selamanya perkembangan teknologi membawa dampak buruk bagi suatu seni tradisi.Â
Sebagai seorang engineer yg dalam kelas Etika Profesi Romo Ardi Handojoseno, SJ menyebutnya sebagai ahli rekayasa, saya harus merekayasa perasaan dengan mengukur dan mengangkakannya. Hal ini cukup menyulitkan bagi saya.Â