Salah satu impian guru adalah mendapatkan tunjangan sertifikasi. Tunjangan yang sebesar gaji pokok itu menjadi magnet bagi kalangan guru. Animo para guru tak surut walau persyaratan untuk lulus diklat plpg dan ppg dari tahun ke tahun semakin berat. Standar nilai 80 jadi momok, namun usaha untuk lulus tak kalah besarnya.
Guru yang sudah lulus pun masih ketar ketir dengan syarat lain yakni keterpenuhan mengajar 24 jam. Syarat yang cukup mudah untuk sekolah yang jumlah muridnya banyak.
Namun akan berbanding terbalik dengan sekolah yang berada jauh dipedalaman yang siswanya sedikit. Redistribusi guru yang tidak merata menyebabkan beberapa guru mapel yang sama kesulitan memenuhi jam di sekolah induk. Solusinya mengambil tugas tambahan yang diakui dalam dapodik seperti wakasek,kepala laboratorium dan pustakawan.
Tugas tambahan juga terkadang tak dapat menolong ketika jampel di sekolah induk tak mencukupi 6 jam. Artinya untuk mata pelajaran harus mengambil minimal 2 kelas yang berarti 4 jampel untuk mata pelajaran Ips misalnya. Jumlah yang diakui adalah maksimal 4 jam untuk kurikulum K.13. Untuk mapel bahasa indonesia boleh dikata aman dengan akomodir jumlah jam sebanyak 6 untuk kurikulum K.13. Ini contoh untuk tingkatan SMP.
Masalah klasik ini rupanya juga menemukan solusi. Pengalaman teman seprofesi yang kekurangan jam mengajar di daerahnya kemudian rela keluar daerah semisal kabupaten tetangga. Melalui jalur birokrasi pejabat dinas kabupaten. Mulai dari kepala sekolah sampai pada kepala dinas. Untung baik kalau ada sekolah yang memang membutuhkan guru.
Proses mencari jam pemenuhan syarat sertifikasi guru ibaratnya pengemis yang datang meminta-minta dengan harapan terkabul. Ya mau apalagi karena regulasi yang demikian. Sebagai guru yang berada pada tingkat bawah,aturan itu harus bisa diterima.
Pada sekolah kecil yang tidak termasuk dalam kategori sekolah atap,jumlah siswa sangat signifikan menentukan jumlah rombongan belajar. Terkadang pemenuhan 6 jam sekolah induk pun susah. Ada juga kasus mendapatkan tambahan mengajar di sekolah non induk yang jumlahnya sampai 20 jampel namun apa boleh buat,jam sekolah induk tak mencukupi jumlah minimun yakni 6 jampel sekolah induk. Data tak bisa valid untuk menunggu sk pencairan.
Permasalahan ini terus terjadi. Ketika guru yang lulus diklat bertambah dari tahun ke tahun dilain sisi tidak sebanding dengan jumlah kelas. Penambahan siswa tak berbanding dengan jumlah guru. Mungkin dengan penetapan nilai 80 untuk lulus diklat akan menjaring guru yang mempunyai pengetahuan dan kompetensi untuk jadi guru pilihan.
Jadi bagaimana dengan mereka yang tak lulus-lulus juga. Padahal harapannya mereka ingin menikmati tunjangan itu. Terkadang beberapa guru mulai pesimis. Tunjangan sertifikasi atau TPG itu keburu dihilangkan sebelum dapat dinikmati. Mereka memiliki opini yang cukup masuk akal juga. Seandainya jumlah jam yang mereka ajarkan itulah yang juga diterima.
Kalau saya kemudian pribadi berpendapat lebih baik tetap satu sekolah ditempati mengajar. Lebih fokus,tanpa perlu terbebani perasaan was-was. Dengan syarat cukuplah 12 jam mengajar di sekolah induk,tak perlu mengambil jam di sekolah lain. Dengan 12 jam itu juga pemerintah dapat mencairkan TPG guru bersangkutan. Regulasi itu yang ditunggu dari pemerintah. Atau sekalian ekstrim saja TPG itu dihapus. Gantilah dengan kesejahteraan lain.
Kemungkinan besar opini saya mendekati kebenaran. Ketika ada operator dapodik yang menyampaikan juga opininya bahwa guru yang punya jampel minimal 12, di sekolah induk walau tak mencukupi 24 jam akan tetap dibayarkan tunjangannya. Benarkah ? Mari kita tunggu.