Mohon tunggu...
Lawas Ilmu Sejarah USD
Lawas Ilmu Sejarah USD Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Kumpulan tulisan Mahasiswa/i Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Se-Jati-nya Samin

23 Desember 2015   01:01 Diperbarui: 23 Desember 2015   01:12 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pergulatan mencari kekuatan diluar manusia yang maha-dahsyat terus bergulir. Semakin hari semakin berkembang kepercayaan manusia terhadap Tuhan. Ketika itu muncul kepercayaan terhadap roh leluhur dan benda gaib yang saat ini kita kenal dengan nama animisme dan dinamisme. Tidak menutup kemungkinan akan kepercayaan manusia terhadap tumbuhan atau hewan yang bernama totenisme. Seperti masyarakat suku Samin, mereka percaya bahwa pohon jati merupakan salah satu nenek moyang mereka. Keintiman mereka dengan hutan menjadi salah satu bukti bahwa pohon jati merupakan tonggak penghidupan masyarakat.

Kepercayaan semacam itu tidak lepas dari konsep suku Samin yang masih primitif. Sedulur Sikep atau Sikep Rabi menjadi bekal keyakinan orang Samin untuk hidup di dunia ini. Perlakuan mereka terhadap alam dan manusia pun tak lekang oleh ideologi tadi. Secara definitif, sedulur sikep atau sikep rabi ini mengartikan bahwa kehidupan saling keterkaitan satu sama lain. Tidak ada “aku yang terpisah” dalam masyarakat, semuanya saling bergantung.[i] Seperti ini orang-orang Samin memiliki kepercayaan;

“Ing sajroning agama ana rasa, rasa sejatine banyu” [ii] 

Artinya, di dalam Agama itu ada rasa, dan rasa sesungguhnya berwujud air suci, air ini adalah rasa sejati. Konsep kepercayaan di atas menjadi fondasi dari Agama Adam. Samin Surosentiko yang mengajarkan hal tersebut kepada anak cucunya saat ini. Sehingga ajaran tersebut terpatri amat dalam di benak para masyarakat suku Samin.

Sekilas sudah terkisahkan kehidupan masyarakat suku Samin dari segi kepercayaan mereka. Benang merah mengatakan bahwa sesungguhnya nama Samin berasal dari tokoh elite masa kerajaan Pajang. Pangeran ini menggok dalan dan mengasingkan diri ke Kediren. Selama di Kediren itu, dirinya berganti nama menjadi Samin Surosentiko. Nama tersebut dipilih atas sebab citra “Samin” yang menonjolkan kesederhanaan. Selain itu, analisa lain menyuarakan bahwa nama Samin itu berasal dari kata sami atau sama. Penelisikan tekstual ini berasal dari cara hidup mereka yang adil dan menganggap semua saling berkaitan. Konsep hidup semacam “podo due banyu, podo due lemah lan podo due kayu” ini menjadi bekal keyakinan mereka untuk survive.

Selain kalimat sama pada punya kayu, air dan tanah, Samin pun mewarisi 7 ajaran untuk hidup yang salah dua isinya adalah;

“Agama itu gaman, Adam pangucape, man gaman lanang

Wong urip kudu ngerti ing uripe” [iii]

Saya mengambil dua poin dari tujuh ajaran dengan alasan, mereka pun tidak lupa pula dengan Tuhan. Padahal gossip yang tersiar di banyak masyarakat ini, mereka tidak beragama bahkan atheis. Pernyataan itu terbantah ketika kita kembali melihat ajaran Samin yang percaya seutuhnya kepada Tuhan. Intinya, kedua ajaran di atas itu memberi pesan bahwa kita harus ingat akan Tuhan dan Agama sebagai lembaga penyalurnya.

            Cara hidup dan ajaran mereka mungkin tak dapat terangkum di tulisan ini. Tetapi sekiranya penulis dapat menghantarkan pembaca kepada kehidupan tentram. Begitu pula inti dari ajaran Samin, tentram. Mereka percaya akan reinkarnasi, maka dari itu berbuat baik menjadi jurus yang menyenangkan dalam hidupnya. Tirakat dan sikap Tawasye merupakan salah dua jurus jitu untuk mendapatkan hidup tentram.

            Sikap mereka yang sekiranya ada hanya di kebudayaan Indonesia atau Jawa, menjadi salah satu inidikator akan agama mereka. Kacamata orang-orang pemerintahan menyatakan bahwa orang Samin beragama Islam, namun tergolong dalam kaum abangan. Pengelompokkan yang muncul dari tulisan Clifford Geertz ini menjadi klop ketika letak geografis daerah persebaran suku Samin berucap. Adakah pesantren daerah Blora, Randublatung atau Pati ? Pada saat pesantren itu tidak ada, niscaya kepercayaan Islam-nya berwarna abangan. Sehingga tradisi seperti tirakat, nyadran masih begitu deras mengalir dalam nafas kehidupan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun