Babak penyisihan group hampir mencapai titik puncak. Sejumlah tim dari berbagai benua ada yang sudah memastikan diri untuk maju ke babak 16 atau perdelapan final.
Ada sejumlah tim favoriet yang melenggang mulus namun ada yang terseok-seok tetapi seumpama permainan film, ada yang 'ending'nya bahagia atau 'happy ending". Contoh paling sahih dan nyata adalah Timnas sepak bola Argentina. Dihujat dan dikritik habis-habisan namun mereka mampu lolas ke babak 16 dengan sejumlah keberuntungan serta kerja keras terutama kenyakinan untuk lolos membara di dalam hati setiap pemain Timnas Argentina pada partai hidup mati sehingga mampu melewati "kutukan" lubang jarum.
Paling sial adalah juara bertahan, Timnas Jerman. Sebagai petahana dan dihuni sejumlah pemain bintang tidak di seantero dunia serta sejumlah predikata lainnya yang "wow" ternyata di lapangan hijau, mereka seakan mati gaya, mati kreativitas, mati strategi serta mati rasa optimisme untuk memenangkan laga terakhir yang juga menentukan, entahkah mereka lanjut ke babak selanjutnya. Dibutuhkan seri saja, Jerman bisa melanjutkan ke babak 16 bahkan banyak yang meramal bisa mencapai final dan meraih juara.
Namun apa daya. Nasib berkata lain. Mereka takluk dari Timnas Asia terutama Korea Selatan. Timnas Korea Selatan membayar lunas kekalahan mereka tahun 2002 lalu, ketika di semifinal dihentikan Jerman 1-0. Bukan hanya revans namun lebih. Korsel membalasnya tanpa ampun 2-0 meski dua-duanya tidak bisa lolos ke babak berikutnya. Bagi Korsel dan Asia umumnya, kemenangan ini dirasakan sangat spesial dan sangat bermartabat. Sebab akan mengangkat rasa optimisme bahwa sehebat apa pun sebuah tim dapat dikalahkan.
Namun, tulisan kali ini, saya lebih memfokus diri pada sisi marketing yang diterapkan FIFA. FIFA memarketing perhelatan piala dunia dengan sangat apik untuk meraih keutungan secara finansial atau bisnis. Bisnis marketingnya sungguh luar biasa. Sejak awal babak penyisihan mereka memarkeitngkan para pemain unggulan pada setiap negara.
Strategi marketing ini sungguh menimbulkan penasaran para penggila bola. Bahkan orang yang tidak suka bola pun dibuat penasaran sehingga mereka bisa hadir langsung di Rusia atau membeli hal-hal yang berkaitan dengan perhelatan sepak bola dunia di Rusia.
Paling laku adalah marketing antara Cristian Ronaldo dengan Lionel Messi. Â Kebetulan sekali, Cristian Ronaldo tampil apik pertandingan pertama dan kedua di babak penyisihan group sementara Lionel Messi agak keteteran atau kurang mujur waktu penampilan perdana dan kedua. Berbagai media coba menarik perasaan para penggila bola atau masyarakat dunia dengan membanding-bandingkan keduanya, yang memang sudah lama diperbandingkan meski di antara keduanya tidak ada persaingan pribadi, yang ada saling respek dan saling menghormati.
Namun dunia marketing memanfaatkan untuk menimbulkan rasa penasaran. Rasa penasaran itu membuat orang akan menghabiskan berapa pun uangnya untuk membunuh rasa penasaran tadi.
Kedua orang ini diperbandingkan atau dihadap-hadapkan. Ketika Messi gagal pinalti, para marketer berburu berita untuk membuat orang semakin penasaran. Mereka mewawancarai orang-orang atau kelompok tertentu yang sudah dipersepsikan akan saling melontarkan kritikan yang pedas. Namun Ronaldo dan Messi sungguh menyadari hal itu.Â
Mereka merasa bahwa hal itu sah-sah saja. Mereka tidak mau terlibat dalam suatu persaingan yang tidak sehat, yang tentu akan merugikan diri mereka sendiri terutama keluarga apalagi negaranya. Jawaban Ronaldo sungguh bijak, "Kita tidak bisa menghakimi seseorang yang gagal dalam melakukan pinalti. Nampaknya mudah, namun butuh perjuangan. Jika sukses, disanjung-sanjung namun jika gagal, akan dihujat. Saya tidak akan menghakimi atau menghujat", katanya diambil dari berbagai sumber.
Hal demikian juga, ketika Cristian Ronaldo gagal melakukan tendangan pinalti ketika berhadapan dengan Timnas Iran. Orang memburu apa komentar Lionell Messi. "Saya pikir sebagai manusia Cristian juga gagal dalam melakukan tendangan pinalti".