Bangsa kita suka paradoksal atau kontra diksi bahkan pertentangan. Saat ini, bangsa kita banyak melahirkan hal-hal yang saling kontradiktif, saling bertentangan dari hal-hal yang sepele hingga hal-hal serius. Paling banyak muncul kontradiksi pada bidang politik. Hampir saban hari, kita menyaksikannya, baik secara langsung terutama melalui media online, media massa cetak dan elektronik.
Saya tidak perlu sebut satu per satu. Semua kita yang namanya warga Indonesia pasti mengenal dan bahkan mungkin mengalaminya. Kontradiksi itu bisa saja benar secara objektif namun tidak jarang hanya mainan (gorengan) pihak-pihak tertentu agar semakin memainkan perasaan orang-orang Indonesia dalam menjelang pilkada, pilgub serentak tahun 2018 serta pileg dan pilpres tahun 2019. Semua hal dibuat menarik dan kontradiktif satu sama lain. Memang banyak pakar mengatakan bahwa yang kontradiktif itu selalu menarik hehehe.
Di tengah isu politik yang kian memanas kontradiktifnya lahirlah isu di bidang ekonomi. Tidak main-main. Judulnya sangat mentereng dan mungkin menakutkan. "Daya beli masyarakat rendah atau mencapi titik nadir".
Tentu, orang-orang menarik kesimpulan tersebut melalui sejumlah penelitian dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Apbila berbicara penelitian berarti sudah memenuhi hal-hal yang substantif intelektual. Melalui sejumlah prosedur dan indikator keilmiahan yang sudah dilewati. Apabila para peneliti yang intelektual itu berdiri sendiri dan mandiri dalam penelitiannya maka perlu menjadi referensi para pihak yang berkepentingan untuk memperbaikinya. Namun dalam semua dimensi kehidupan manusia tidak bebas nilai. Tidak bebas kepentingan. Yang paling kita takutkan bahwa para peneliti intelektual itu bersekutu dengan mazab politik tertentu. Dengan demikian kemurnian karya intelektualnya patut dipertanyakan, patut diuji dan patut juga diklarifikasi dengan pendekatan penelitian ilmiah lainnya.
Saya bukan pakar apalagi peneliti dalam kasus yang sedang saya angkat menjadi judul tulisan ini. Namun hanya secara gamblang menyaksikan berbagai aktivitas ekonomi akhir-akhir ini seperinya ada kesimpulan sementara bahwa agak berlebihan kalau dibilang daya beli masyarakat saat ini rendah bahkan sebagian mengatakan sudah mencapai "titik nadir".
Pengalaman pribadi ketika melihat ruang-ruang badan pesawat dengan penerbangan ke seluruh Indonesia bahkan luar negeri yang tempat duduknya selalu penuh terisi dengan harga tiket yang tidak murah maka dalam hati kecil saya pun bertanya "benarkah daya beli masyarakat Indonesia saat ini rendah?". Belum lagi rel-rel kreta api sering anjlok ketika banyak penumpang di dalamnya. Transportasi darat, laut lainnya di seluruh wilayah Indonesia selalu penuh dengan penumpang, hotel-hotel yang selalu ada orang menginap. Menjadi pertanyaan besar, benarkah daya beli kita rendah.
Saya sendiri merasakan dampak dana desa. Desa saya terpencil bisa tersentuh berbagai pembukaan jalan tani serta rabat-rabat beton di desa. lalu lintas angkutan dan orang semakin berjubel ke pasar-pasar rakyat, jual-beli barang dengan harga yang tidak murah. Pesta-pesta yang digelar masyarakat dengan nilai rata-rata minimal Rp3.000.000 lalu mengadakan pesta dalam waktu yang sama lebih dari 100 orang. Bisa kita bayangkan berapa rupiah yang mereka habiskan!
Itu pendapat saya pribadi. Hipotesis "daya beli masyarakat rendah" menjadi objek atau subjek penelitian yang menarik untuk dibuktikan. Yang penting semuanya dilakukan di atas kajian intelektual yang jujur.
Salam,
Ende, Flores