Wahai negeri
yang bentangan tanganmu
menjulur dari Sabang sampai Merauke
Â
Wahai negeri
yang kekayaanmu
membuat iri bangsa-bangsa
Â
Wahai negeri
yang keindahanmu
adalah surga di pelataran semesta
Â
Dari rahimmu
kami lahir dan tumbuh
menyusu pada laut dan sungaimu
Â
Mataharimu
adalah hangat kasih semesta
yang selalu menyapa jiwa-jiwa
di tiap awal hari
Â
Maka lihatlah kami di sini
jiwa-jiwa mematri janji
menancap teguh di palung hati
dalam persaksian bumi dan matahari
Â
Bahwa
meski sekujur tubuhmu penuh luka
meski kaki tanganmu penuh koreng-koreng politik
meski rambutmu kian tipis oleh pembalakan liar
meski wajahmu dipenuhi jerawat terorisme dan pornografi
meski hemoglobinmu penuh karbondioksida karena paru-parumu habis terbakar
meski lumbung padimu habis digerogoti tikus-tikus koruptor,
hingga jantungmu ngos-ngosan mengejar kawan-kawanmu yang telah jauh berlari
Tapi kami kan selalu di sini
mencintamu dengan ketulusan tak terperi
Â
Karena merahmu adalah merah darah kami
karena putihmu adalah putih tulang kami
karena denyut nadimu adalah hembusan nafas kami
karena kebesaranmu adalah mimpi yang selalu menghantui malam-malam kami
Â
Wahai negeri
yang lahir dari genangan darah para pahlawan kami
mereka telah memahat tanda cinta kepadamu
dengan jantung yang selalu mempuisikan namamu
Â
Wahai negeri
yang tumbuh dalam semangat para rakyatmu
mereka memintal namamu
dalam keringat yang mereka cucurkan
pada genggaman tangan mereka
Â
Maka lihatlah kami di sini
berdiri tegak memancang kaki
di atas tanahmu
nyanyikan lagu cinta tanpa jeda
hanya untukmu
selalu untukmu
Â
(Jogja, 2010)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI