Sudah beberapa bulan terakhir ini lampu jalan di Kompleks X mati semua. Padahal di situ berdiri rumah-rumah megah nan cantik. Rasanya aneh aja gitu kalau lihat deretan rumah yang bagus tapi jalanannya gelap-gulita.
[caption id="attachment_145786" align="alignright" width="225" caption="Lampu yang menerangi jalan. Foto dari http://shw.gajahchan.fotopages.com"][/caption] Karena resah, akhirnya Pak P yang tinggal di kompleks itu bertanya kepada tangan kanannya Pak RT yang kebetulan adalah satpam kompleks. (Ngomong-ngomong, kenapa tangan kanannya Pak RT selalu satpam? Kayaknya dalam pemilihan tuh nggak usahlah butuh Wakil Ketua RT, yang lebih penting adalah pemilihan satpam..) Kenapa dulu-dulu lampu jalan selalu nyala, tapi sekarang mati semua? Apakah karena musim hujan, lampu jalan jadi rusak, dan tukang listrik nggak utak-atik lantaran takut kesetrum? Tapi musim hujan sekarang sudah mulai berlalu, nyamuk-nyamuk kemarau yang kering sudah mulai berdatangan, jadi kayaknya nggak logis kalau tukang listrik masih takut kesetrum juga. Maka satpam menjawab, nggak cuman Kompleks X yang lampu jalannya mati. Tapi juga Kompleks Y, bahkan Kompleks Z yang letaknya beberapa kilo dari situ juga ikutan mati. Dan semuanya adalah real estate, yang mana penghuninya rata-rata tajir-tajir. Bukannya PLN sentimen sama kompleks-kompleks itu. Masalahnya gini, kan baik Kompleks X, Y, maupun Z dulu sama-sama bagian dari Kabupaten K. Tetapi sudah beberapa waktu terakhir Kabupaten K pecah lantaran beberapa kecamatan memisahkan diri dan bikin kabupaten sendiri bernama Kabupaten L, di mana kompleks-kompleks yang lampu jalannya mati itu termasuk dalam Kabupaten L itu. Nah, Pemda Kabupaten L-nya nggak mau urusin listrik lampu jalannya di kompleks-kompleks itu untuk sementara, soalnya mengenai lampu jalan itu masih ada “urusan yang belum selesai” oleh Kabupaten K. “Maksudnya gimana sih?” tanya gw waktu Pak P cerita kisah itu ke gw. “Tagihan listrik lampu jalan yang dulu-dulu belum dibayar oleh Kabupaten K?” “Nampaknya semacam itu,” kata Pak P. Gw jadi kesiyan ke para penghuni di kompleks-kompleks itu. Mosok cuman gara-gara bupati (atau Pemda-nya? Terserah.) yang dulu belum mbayar lampu jalan, sehingga sekarang penghuninya mesti gelap-gelapan di jalan? Lha kalau ada mobil mau melintas terus ada kucing lagi tidur di jalan, gimana? Nggak kesiyan kalau kucingnya kelindes? Rakyat biasanya nggak mau tahu mereka mau masuk kabupaten K atau L, atau mau jadi kota sekalipun. Urusan rebut-rebutan wilayah antar kabupaten cuman jadi pertikaian antara pejabat daerah. Rakyat cuman mau peduli bahwa mereka bisa hidup enak, ada listrik. Kok ya malu-maluin banget “induk” yang sekarang nggak mau bayar listrik cuman gara-gara tagihan “induk” yang dulu belum dibayar? Menjelimetnya masalah otonomi daerah ternyata nggak cuman terjadi di daerah-daerah luar Jawa, tapi juga terjadi di daerah Jawa sendiri, bahkan di daerah urban macam Kabupaten K dan L. Gw jadi inget pas tahun lalu gw pernah ngobrol sama seorang pegawai Pemda di Cali. Gw: “Paman, kenapa sih kok di daerah F ini susah banget mau pasang lampu jalan aja? Memangnya APBD-nya nggak cukup ya buat mbayar listrik?” Si paman ketawa: “Gini lho. Dulu kan Kabupaten F ini bagian dari Kabupaten G, di mana listrik ke F itu dipasok dari kantor listrik di G. Tetapi terus ada otonomi daerah, di mana akhirnya F mutusin buat bikin kabupaten sendiri supaya bisa ngurusin sumber dayanya sendiri. Nah, pasokan listrik dari G ke F tuh dibatasin, coz G merasa F juga udah bagian dari dirinya lagi.” Gw: “Itu bukan masalah dong, Paman. Kan kalau F kepingin berdiri sebagai daerah mandiri, ya mestinya udah mikirin konsekuensi bahwa F harus bisa bikin listrik sendiri dong.” Si paman ketawa lagi: "Beberapa pejabat tidak memikirkan dampak itu dengan matang, Mbak Vicky..” Lalu gw tanya lebih lanjut, sebenarnya kenapa sih orang pada rame-rame minta otonomi daerah. Kan lebih enak jadi bagian dari daerah yang dulu, hidup sudah terjamin. Terus si paman nerangin bahwa, orang tuh kepingin bikin kabupaten sendiri (atau bahkan provinsi sendiri), soalnya merasa pemda yang menaunginya nggak melindunginya dengan baik. Di daerah F itu, dulu waktu masih jadi bagian dari Kabupaten G, sumber-sumber daya ekonomis diangkut semua ke ibukota G sedangkan daerah F selalu saja tertinggal. Nggak heran F memutuskan untuk separatis dan menjadi kabupaten sendiri. Maka gw pun balik lagi ke kasus mati lampu jalan di Kabupaten L. Kenapa ya Kabupaten K masih belum beresin urusan listrik yang dulu-dulu itu? Apakah sebenarnya Kabupaten K sudah ikhlas melepas L jadi kabupaten sendiri? Lha kalau dilihat-lihat, kompleks X, Y, dan Z yang mewah-mewah itu memang sumber potensial buat narik pajak daerah, jadi sayang juga kalau dilepas, kan? Otonomi seharusnya mensejahterakan rakyat, kan? Bukan bikin rakyat dipaksa gelap-gelapan. *Maaf ya, semua nama di sini gw singkat pakai variabel aljabar. Soalnya gw belum tanya ke bupati-bupati yang bersangkutan, “Bapak-bapak, sampeyan semua ini sebenarnya ikhlas nggak sih melepas ‘anak’ yang kepingin berdiri sendiri itu, atau memang cuman kepingin bikin kucing yang tidur di jalan jadi kelindes?" Kesan-kesan dari para penonton sebelumnya sudah ada di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H