Daftar penyusun itu hanya terdiri atas nama-nama dosen yang tugasnya mengoreksi tulisan saya. Tapi nama saya, dan teman-teman sesama penulis, yang justru bekerja menyusun kalimat demi kalimat, alinea demi alinea, tidak disebut sama sekali dalam buku itu.
Saya pun bertanya ke supervisor saya, kenapa kok nama kami nggak ada. Supervisor itu nampak sangat kaget, coz menurut sepengetahuannya, sewaktu draft buku itu ditetapkan, nama saya dan teman-teman penulis masih ada.
Supervisor saya mencoba menyelidiki. Ternyata, setelah penetapan draft buku itu, ada lagi "penetapan" yang lain di mana supervisor saya nggak hadir. Dalam "penetapan" itu, seorang staf lembaga protes coz nama penulis non-lembaga itu dimasukkan ke daftar penyusun, padahal penulis tersebut (dalam hal ini saya dan teman-teman penulis) sudah dibayar dari awal untuk menulis naskahnya. Jika nama saya dan teman-teman penulis dimasukkan ke daftar penyusun, dikuatirkan kami akan kecipratan royalti, coz memang hukum mewajibkan royalti harus diberikan ke semua orang dalam daftar penyusun. Nama saya dan teman-teman dihapus, coz kami kan bukan staf lembaga, melainkan hanya penulis yang disewa untuk menulis "atas nama" lembaga itu. Adapun uang jasa nulis yang dulu diberikan ke saya dan teman-teman, dianggap sebagai uang untuk "membeli" hak cipta kami...
Saya nyaris ketawa dalam hati membayangkan ada orang berupaya menghalang-halangi saya dapet royalti. Padahal saya nggak ngurusin royaltinya, saya lebih peduli bahwa saya telah menulis naskah untuk separuh buku itu dan mereka serta-merta membuang nama saya begitu saja dari daftar penyusun. Tahu nggak, padahal kalau nama saya tetap ada di situ, saya bisa pakai buku itu sebagai portofolio karya ilmiah jika suatu hari nanti saya ingin dipromosikan jadi doktor atau profesor. Pengakuan nama saya lebih penting ketimbang segepok duit, kok tega-tega banget mereka ngaku buku itu karya mereka padahal saya yang nulisinnya?
Ya nggak salah sih, staf-staf lembaga itu juga memang ikutan ngedit. Tapi kan saya juga ikutan berkontribusi mengarang banyak sekali, kok enak banget nama saya dihapus pada saat-saat terakhir menjelang bukunya naik cetak?
Nggak cuman nama saya dan teman-teman penulis yang dihapus. Tapi juga nama beberapa orang lain seperti lay-outer, desainer cover, dan ilustrator. Tak ada pengakuan atas nama orang-orang itu, padahal karya mereka bertebaran di buku itu.
Sudah telanjur, buku Kehamilan Multifetus itu kadung di-launching. Sudah disebarkan ke banyak orang, dan takkan ada yang tahu bahwa ada orang-orang selain staf lembaga itu yang justru berperan banyak agar buku itu bisa tersusun cantik seperti itu. Di halaman dua buku itu hanya tertulis bahwa buku itu ditulis oleh staf-staf lembaga saja, sedangkan desain lay-out oleh penerbitnya. Bah, jelas-jelas saya tahu persis yang bikin lay-out-nya bukan mereka. Dan ini cuman gara-gara ketakutan akan risiko royalti yang mesti dibagi-bagi.
Saya bisa bilang ke orang-orang bahwa saya ikutan nulis buku itu, dan saya bisa bayangkan bahwa saya akan dikira membual. Tapi saya nggak berniat lupa bahwa saya pernah menulis textbook dan saya ingin merekam memori prestasi kecil itu baik-baik. Maka saya menulis curhat ini, untuk pelajaran buat saya dan buat orang-orang penulis seperti saya. Menulislah. Publikasikanlah. Dan jangan pernah biarkan lagi orang lain mengaku-ngaku karyamu sebagai hak miliknya.
Tulisan ini sudah terlalu banyak dikomentari di http://georgetterox.blogspot.com/2010/12/karyaku-diakui-bukan-milikku.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H