Mohon tunggu...
Laurens Siahaan
Laurens Siahaan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bagi saya, menulis adalah suatu hobi, kutukan, dan pembelajaran bagi diri sendiri. Selain seorang yang pendiam dan tidak mau dibohongi dalam segala hal, saya juga senang berdiskusi. Bertolak belakang dan kontroversial, bukan?! Itulah saya. Mari berkomunikasi dan berdiskusi bersama dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Generasi Kurang Gizi: Generasi yang Diharapkan Indonesia?

1 Januari 2011   13:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:04 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_82806" align="alignleft" width="274" caption="Image from Google and Blogs."][/caption] Dari tahun ke tahun, angka penderita gizi buruk tidak menurun. Kepedulian pemerintah pusat dan daerah diperlukan. Inilah persoalan penting yang seharusnya mengundang kepedulian dan perhatian besar pemerintah pusat dan daerah. Bukan hanya persoalan undang-undang perkawinan (poligami), infrastruktur pembangunan (busway), dan masalah lainnya. Negeri ini terancam kehilangan satu rantai generasi yang kini masih berusia di bawah lima tahun (balita) lantaran kurang gizi. Mungkin mereka bisa bertahan hidup dan akhirnya tumbuh besar, tapi pertumbuhan otaknya bisa terhambat. Bayangkan saja kalau semua generasi bangsa Indonesia mengalami gizi buruk seperti ini. Tentu akan lahir pemimpin-pemimpin yang mudah ditipu, pemimpin yang bodoh, tidak berpikir panjang, dan masih banyak efek kurang gizi tersebut. Yang akan muncul barangkali generasi yang kurang cerdas, kalau tidak bisa dan tidak mau dibilang berotak kosong. Yang memprihatinkan, sebagian besar dari anak-anak bergizi buruk itu telah menderita penyakit busung lapar. Penyakit busung lapar biasanya diakibatkan oleh kekurangan kalori dan protein dalam tubuh. Tak cukup ditolong dengan makanan tambahan, penderita busung lapar harus dirawat secara intensif di rumah sakit. Bila keadaan gizi buruk ini dibiarkan terjadi, volume otak akan menurun dan bukan tidak mungkin akan mengakibatkan kematian. Kematian dalam keadaan teramat lapar tidaklah enak untuk dilihat. Langkah perawatan secara intensif sering terlambat dilakukan sehingga jiwa si penderita akhirnya tidak terselamatkan. Jangan bayangkan korban gizi buruk hanya muncul di provinsi seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, atau Papua. Bocah-bocah yang bernasib malang juga gampang ditemui di wilayah Jawa. Tak hanya di kampung-kampung terpencil, anak penderita gizi merebak pula di kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Itulah dampak paceklik ekonomi yang terjadi sejak 1997 dan masih berusaha pulih hingga sekarang. Menghadapi mimpi buruk itu, para gubernur, bupati, atau walikota tidak boleh lepas tanggung jawab. Mereka harus berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan anak-anak generasi masa depan Indonesia dari ancaman gizi buruk dan busung lapar. Sejak otonomi daerah diberlakukan, urusan kesehatan sepenuhnya jadi tanggung jawab pemerintah daerah. Bila daerah-daerah tertentu di wilayah Indonesia memiliki tingkat gizi buruk yang cukup tinggi, bukan tidak mungkin mereka akan kehilangan putra-putri terbaik daerah mereka. Bahkan jauh sebelum itu, pada 1987, sebagian urusan kesehatan masyarakat ini, termasuk layanan kesehatan ibu dan anak, telah dilimpahkan ke daerah lewat peraturan pemerintah. Petinggi daerah sebaiknya juga tidak perlu menutup-nutupi kasus busung lapar di daerahnya kalau tidak mau berurusan dengan hukum, dan justru membuat korban terlambat diselamatkan. Bukan juga pemerintah pusat boleh berpangku tangan. Lebih dari sekadar memantau dan mengumpulkan data, Departemen Kesehatan harus lebih giat melakukan kampanye memerangi kasus gizi buruk. Bekerja sama dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan perlu menggerakkan daerah-daerah untuk menghidupkan kembali pos pelayanan terpadu dan memaksimalkan fungsi puskesmas. Dengan cara itu, anak-anak balita di kampung-kampung dan daerah-daerah miskin kota akan mudah dipantau kesehaatan dan pertumbuhannya dan dapat ditolong jika berat badannya tidak normal. Penyuluhan terhadap masyarakat pun harus digencarkan lagi. Soalnya, tidak sedikti ibu muda yang kurang terpelajar tidak paham pentingnya gizi bagi kesehatan dan pertumbuhan otak si kecil. Kemiskinan memang tidak akan segera bisa diatasi, dan tidak mungkin juga akan dihilangkan. Kemiskinan hanya bisa dikurangi. Tapi anak-anak yang lahir dari keluarga yang kurang beruntung masih bisa diselamatkan jika pemerintah-pusat dan daerah-memiliki kepedulian yang besar. Walau begitu, masih saja ada masyarakat yang­­-sepertinya-sengaja meng- "eksplotasi" gizi buruk tersebut supaya mendapat "perhatian" pemerintah pusat dan daerah supaya lebih memperhatikan mereka. Apakah mereka teledor dalam hal memberi gizi buruk kepada anak-anak mereka? Apakah mereka malas? Tentu saja ada juga orang miskin yang kerjanya hanya bermalas-malasan saja di rumah, sehingga gizi anak-anak mereka tidak diperhatikan. Tetapi yang jelas kita semua-pemerintah pusat, daerah, dan elemen masyarakat-tidak boleh berhenti untuk memerangi kasus gizi buruk di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun