[caption id="attachment_297088" align="alignnone" width="466" caption="Sumber Foto: JPNN"][/caption] Sedang riuh-riuhnya isu #SaveRisma, kemudian kabar penyadapan Jokowi mencuat. Mereka yang tidak percaya pada kasus kedua dengan cepat menyebutnya ‘pengalihan isu’.
Pengalihan isu itu sebenarnya barang apa? Saya lebih senang menganalogikannya dengan ‘kentut’ yang tak bunyi. Wusss. Baunya bikinmabok, tapi ‘knalpot’ siapa yang membuangnya sulit dibuktikan.
Bau (baca: dugaan) bahwa penyadapan Jokowi digunakan untuk megalihkan perhatian publik dari isu #SaveRisma memang cukup menyengat, sehingga sulit dihindari. Pertama, karena yang pertama kali melontarkan adalah kalangan PDIP, partai yang dirugikan dari isu #SaveRisma. Kedua, isu ini baru berdasarkan statement, bukan fakta. Mungkin akan berbeda jika isu penyadapan mencuat pertama kali dari temuan alat sadap di kamar Jokowi oleh polisi.
Meributkan siapa yang kentut dalam kerumunan, pada akhirnya sama dengan mempergunjingkan pengalihan isu. Tidak akan ada ujungnya, sia-sia dan hanya buang-buang waktu, kecuali ada yang mau mengaku.
Pengalihan isu sebenarnya mirip dengan ‘agenda setting’ yang dilakukan media, dalam hal tujuan mencari perhatian publik. Dengan memilih satu dari sekian banyak isu untuk dijadikan berita utama (misalnya, headline dalam koran), media ingin apa yang dianggapnya penting juga menjadi penting bagi publik.
Begitu pula Jokowi dengan isu penyadapannya. Jokowi atau mungkin PDIP ingin publik menganggap penting dan memerhatikan tindakan spionase yang dilakukan kepada pihaknya. Apalagi, partai itu menyebut Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri juga menjadi target penyadapan para intelijen hitam.
Dengan melihat kehebohan penyadapan belakangan ini, nampaknya upaya Jokowi dan PDIP itu berhasil. Sebagai figur paling populer sekarang ini, Jokowi sangat gampang menyetir agenda publik. Jokowi bisa mengendalikan media untuk memberitakan apa saja tentang dia, tentu dengan ‘framing’ atau ‘tone’ yang positif.
Jangankan ucapannya, Jokowi kebelet kencing di jalan saja bisa jadi berita. Itu karena semua pemberitaan positif apapun tentang Jokowi sedang digemari mayoritas publik. Kalau sudah begini, media mana yang tidak mau laku? Ini bukan soal menyerah begitu saja pada selera pasar, tetapi di sinilah justru tesis media sebagai potret realitas masyarakat – yang kini sedang gandrung dengan Jokowi – mendapat tempatnya.
Sebaliknya, jika menyaksikan pemberitaan dengan ‘framing’ dan ‘tone’ negatif tentang Jokowi, kebanyakan akan berbuah kritik, umpatan, bahkan caci maki oleh pembaca. Ini utamanya terjadi pada media dua arah, sepertisitus berita yang menyediakan ruang komentar pembaca.
Poin saya di sini bukan soal positif atau negatifnya pemberitaan tentang Jokowi. Tetapi lebih kepada efektivitas Jokowi dalam mencari perhatian publik lewat tindakan komunikasinya. Jika diibaratkan media, Jokowi mungkin sebuah media dengan pengaruh paling besar di negeri ini, sehingga agenda setting apa saja yang dibuatnya mendapat perhatian publik.
Soal agenda setting ini, Jokowi atau setiap media yang melakukannya bisa saja beralasan ini demi pengawasan publik. Tapi, siapa yang bisa menjamin tidak ada motif lain? Dugaan motif lain ini ya ‘kentut’ tadi itu. Bau, tapi sulit dibuktikan.
Lantas pertanyaannya, apa yang lebih produktif bagi publik ketimbang membicarakan ‘kentut’ Jokowi? Toh, faktanya Jokowi sudah menjadi media darling. Dia sudah memegang kuasa atas media dalam bentuk yang paling halus. Tidak seperti capres-cawapres lain yang justru memiliki media, tapi dimaki-maki penonton karena ikut-ikutan ‘tukang bubur naik haji’.
Menurut saya, yang produktif sekarang ini adalah menyorot tajam-tajam pelanggaran yang diduga dilakukan para capres-cawapres, termasuk Jokowi. Agak normatif memang, tapi justru pelanggaran ini yang jelas batasannya: undang-undang. Ya UU Pemilu, UU Penyiaran, UU Pers dan Peraturan KPU tentang kampanye.
Belum lama ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan sanksi penghentian siaran sementara atas program ‘Kuis Kebangsaan’ di RCTI dan ‘Indonesia Cerdas’ di Global TV, karena terbukti menjadi alat kampanye terselubung salah satu pasangan capres-cawapres. Keputusan KPI itu setidaknya bisa menepis sedikit dari sekian banyak keraguan pubik terhadap lembaga yang dituding sudah disusupi anasir para pemilik televisi.
Pada akhirnya, bicara pelanggaran adalah bicara barang nyata. Bukan seperti kentut, yang tak berwujud. Jadi, jangan sampai energi kita habis untuk meributkan kentut, sementara, maaf, taik di depan mata tidak dilihat. (ren, 24/2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H