Saya tidak ikut tertular virus menulis yang kejut dan pendek. Tulisan ini kurang lebih dua ribu tujuh ratus kata. Tulisan ini juga masih bersaudara dengan beberapa karya saya yang lain, antara lain Jek, Cerita Ayi, Kebencian Mak dan Hitungan Mundur Ayi. Lalu di akhir cerita ini, ada soundtracknya. Lagu yang menginspirasi cerita ini. LIriknya bisa lihat di sini. Hehehe. Selamat Membaca ya.
*****
Sore ini, seperti biasa Bimo bermeditasi di warung babeh. Warung babeh kecil, letaknya di pojokan jalan dan menunya monoton. Cuma ada nasi goreng, mi goreng, mi rebus dan roti-rotian. Jam-jam segini, warung babeh biasanya cuma jadi punya Bimo seorang, tapi hari ini terpaksa harus dibagi dua dengan seorang mahasiswa yang sering Bimo lihat tampangnya entah di mana.
Dan inilah mereka duduk berhadap-hadapan. Bimo minumi kopi, si mahasiswa minum teh saja. Bimo menghisap rokok, si mahasiswa mengibas-ngibaskan tangan ke udara. Ok, rokok dimatikan. Si mahasiswa tersenyum. Manis juga, jadi Bimo balas senyum. Matanya bengkak, seperti habis menangis. Bimo jadi teringet Nana, pacarnya. Terakhir bertemu, mereka bertengkar hebat dan Nana pulang sambil menangis.
"Katolik ya?" Bimo refleks bertanya waktu melihat nama yang ada di diktat kuliah yang diletakkan di atas meja. Ditulis tebal dan besar. Laurenciel Avantia.
"Eh, kok tau?"
"Itu, Laurenciel, nama baptis kan? Laurensius? "
"Iya Katolik, tapi laurenciel bukan nama Baptis."
"Apa dong?"
"Itu si mamah katanya di jalan ke rumah sakit pas mau melahirkan ngeliat pelangi. Bahasa prancisnya kan l'arc en ciel. Dibablasin jadi laurenciel" katanya sambil mengambil ballpoint dari saku celananya dan menulis asal usul namanya di atas koran Top Skor yang ada di atas meja. "Panggil Ayi aja " katanya sambil menyodorkan tangan.
"Bimo." Bimo berjabat tangan dengan Ayi.