Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kematian Spiritual

8 Agustus 2010   05:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:13 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lalu akan tiba saatnya wanita itu bangun pagi dan merasa sangat lelah. Dan dia tidak akan bisa berhenti menangis sampai akhirnya taksi menurunkannya tepat di depan pintu masuk gedung tinggi tiga puluh lantai. Dia lalu masuk ke toilet perempuan dan merapikan bedak serta eyelinernya. Memastikan wajahnya segar lalu membungkus sekotak airmata, membuangnya ke kloset dan menarik panel samping kotak.

Lalu akan sampailah wanita itu pada sebuah rutinitas menekan tombol lift dan berkaca sesaat sebelum pintu lift terbuka. Lalu ia akan menyuruh office boy untuk masuk ke dapur membuat teh panas lalu membawanya ke dalam kubikal mungkil di sudut lantai dua tiga . Lalu dia akan berkaca lagi sebelum layar laptopnya berubah menjadi tabel tabel penuh angka dana grafik.

Lalu akan tiba waktu makan siang dan lantai akan menjadi sepi dan itulah saat si wanita bisa menangis dalam diam. Tanggannya akan bergerak di sebuah alat komunikasi dan airmatanya jatuh terus menerus tidak berhenti. Tisu merek ternama itu berpindah tempat ke tong sampah, setengah basah. Waktu maju lebih cepat dari seharusnya seiring dengan langkah kaki yang kembali ramai pukul satu siang.

"Mengapa mencintai tiba-tiba terasa melelahkan?" sang wanita bertanya lewat aksara.

"Karena tidak pernah berhenti.* " balasan itu terkirim lewat sinyal elektrik, menusuk tepat di dada kiri.

Lalu jam akan cepat berubah menjadi pukul delapan malam dan wanita itu masih sibuk dengan lembaran kertas penuh coretan. Mata bengkak tertutup bingkai kacamata minus tiga setengah. Rasa lelah telah sampai di puncak.

Tentang mimpi yang tidak berterali pakem duniawi. Tentang kebebasan utuh insan pribadi. Tentang kesetaraan tanpa pandang strata. Tentang nilai kemanusiaan dalam keragaman. Tentang kata-kata yang membunuh. Tentang jati diri yang independen terhadap digit materi. Tentang entah apa lagi semua begitu lelah. Sekali lagi ini semua utopia berkubang mimpi.

Mimpi yang memudar seiring dengan uban di rambut dan kerut di mata. Mimpi yang semakin dalam bersembunyi di huruf-huruf tegak dunia maya. Mimpi yang semakin jauh tertinggal di lagu-lagu muse dan buku-buku berdebu sudut lemari kamarnya. Mimpi retak-retak dan ini kepingan terakhir yang sisa di genggaman sang wanita.

Selain mimpi, perjuangan yang membuat manusia hidup**. Wanita mendesah lirih. Sudah terlalu lelah. Akhirnya datang juga hari ini. Ia memutuskan: perjuangan selesai sudah sampai di sini.

Lalu dan lalu wanita itu bangkit pulang menunggu taksi. Air matanya masih menggenang dan dadanya nyeri di sebelah kiri. Inilah hari pemakaman untuk dirinya sendiri. Berhenti bermimpi, kemudian mati***.

8 Agustus 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun