Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bertigadipa Bersepatu

26 Juni 2010   19:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:15 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi kenapa sepatu? Barang paling rendah, diapakai menjejak bumi. Kalau kata mamanya Lupus, biar sepatu awet, jalannya pake tangan aja. Itu sih gila. Hahaha. Sepatu mungkin karena rindu. Hari ini kami bertiga rindu. Rindu bersatu dalam tulisan setelah tenggelam dalam kesibukan selama seminggu. Tapi sayang otak buntu. Jadilah keluar ini sepatu. He? Iya iya. Ini dia bertigadipa berbagi cerita soal sepatu. *** Sekarang sedang belajar memakai sepatu hak tinggi. Sebenarnya tidak suka karena biasanya pakai sepatu kets. Tapi harus belajar. Kebutuhan untuk berpenampilan menarik mulai  meningkat. Ini dunia memang tidak berlogika. Orang lebih percaya dengan sampah yang keluar  dari wanita muda menawan daripada berlian berharga yang keluar dari permpuan lugu tanpa  rias muka bersepatu kets. Sudah beli yang harga tiga puluh lima ribu rupiah. Seminggu kemudian sol depannya mangap. Lalu naik ke seratus ribu rupiah. Kiri dan kanan besarnya tidak sama. Akhirnya tiga ratus ribu rupiah menjelma sepatu hitam manis. Dua minggu kemudian kaki kiri bengkak. Kurang ergonomis. Menyerah. Enam ratus ribu rupiah akhirnya direlakan. Itu setengah gaji sebulan! Benarlah kata pepatah. Ada harga ada barang. Kali ini benar nyaman. Bertahan sampai delapan bulan. Ibu saya mengomel. Katanya saya buang buang uang. Hidup mungkin semacam membeli sepatu. Nominal berbanding lurus dengan kenyamanan.  Semakin empuk dan pas di kaki, digit angkanya semakin bertambah. Itu nominal adalah perwakilan dari jerih payah yang harus dibayar. Empuk dan pas itu kenikamtan hidup. Sepatu enam ratus ribuitu sudah pas di saya. Tapi masih ada sepatu tiga juta yang lebih empuk dan pas. Beli saya bisa, tapi apa saya butuh? Sepatu saya sudah nyaman di level enam ratus ribu. Dengan kerja keras saya bisa memilih level hidup saya. Saya sedang malas memikirkan mereka yang tak punya pilihan hidup yang sama konteksnya dengan tak bisa memilih sepatu. Hey, saya toh punya pilihan karena saya kerja keras. Jangan sirik. Kalau mau memilih sepatu, silakan kerja keras. Dan tolong jangan berisik dengan sepatu enam ratus ribu saya. Saya kerja keras untuk itu. *** Masih sibuk memilih. Di kamar ini ada puluhan pasang sepatu, mulai dari fantofel, boots, sneakers, atau sepatu kets biasa. Dari harga ratusan ribu, hingga jutaan pun ada. Aku berdiri di depan pintu masuk, melihat ke sekeliling. Sebenarnya untuk apa aku koleksi mereka semua. Ini terlalu banyak. Bahkan ada beberapa pasang yang belum kusentuh sama sekali. Tapi entah kenapa, ada kepuasan batin melihatnya. Tahu bahwa untuk segala acara, untuk segala situasi, sepatu jenis apapun sudah tersedia. Aku ambil boots butut berwarna coklat. Ini favorit nomer satu. Mungkin tepat untuk dipakai nanti. Memilih sepatu mungkin sama dengan memilih pasangan hidup. Banyak, dan sudah tersedia. Tapi yang mana yang paling sesuai di kaki, dan paling membuat nyaman, kita tidak bisa asal menebak. Kalau tidak mau menghabiskan waktu terlalu lama mencoba satu per satunya, mau tidak mau kita harus melihat ciri-ciri yang tampak dari luar. Ukurannya, terbuat dari bahan apa, kualitasnya bagaimana, harga yang sedikit lebih mahal pun tentu membantu menentukan itu semua. Sama seperti pengorbanan yang dilakukan secara sukarela kepada seseorang yang sudah dianggap tepat. Ada usaha untuk mencapai kemauan. Mau menjadi pasangannya, tentulah harus bersusah-susah sedikit merebut hatinya. Mau sepatu bagus, keluar uang sedikit lebih banyak harusnya bukan masalah besar, asalkan terbayar dengan rasa nyaman nanti. Ketika keluar dari ruangan itu aku melihat sepasang sepatu di pojokan dekat pintu. Sepatuku semasa SMA. Sudah usang dan rusak di beberapa tempat. Kembali berfikir, kalau sepatu adalah analogi paling pas untuk pasangan hidup, apa aku nanti masih mau memakai sepatu tua dan usang macam itu? Aku terdiam sebentar. Tentu seiring waktu, kakiku pun akan berkerut, tidak lagi kokoh seperti sekarang. Alangkah adil jika aku bertanya, apa dia masih mau dipakai oleh kaki semacam itu? Mungkin menjaga sepatu sama seperti menjalin hubungan. Tidak perlu terlalu sering dipamerkan, tidak perlu terlalu sering digunakan. Seharusnya tidak butuh perawatan berlebihan juga. Seperlunya saja, cuci, keringkan dan semir sedikit agar mengkilat. Terdengar sama seperti hubungan pasangan yang tidak perlu terlalu intense.  Tidak perlu menjadi bahan sesumbaran. Cukup dipertahankan dan dijaga semampunya. Mungkin, keduanya cuma perlu dipahami atas kegunaan dan posisinya. Aku menutup pintu di belakangku. Yah setidaknya, sebelum aku memutuskan sepatu mana yang akan terus mendampingi kakiku menapak, aku masih punya banyak cadangan kalau-kalau aku merasa bosan. Hahaha… Maaf, jangan protes, kadang seleksi itu dibutuhkan sebelum membuat keputusan. *** Sedari dulu sepatu selalu menjadi kelemahanku. Maksudnya, itu adalah barang penggugah selera selain kamera. Coba buka kamar itu dan lihat laci di bawah lemari. Itu semua sepatu yang aku beli dari bertahun-tahun lalu. Wedges, stilleto, chunky heel, ballet shows, pointy, gladiator dan apa lagi? Cari disana. Tuntutan pekerjaan untuk selalu punya sepatu model terbaru. Pekerjaan pula yang membuat aku terkadang dapat sepatu gratis. Terkadang sih, di saat keberuntungan sedang datang. Jangan salah terka. Aku tidak menghamburkan banyak uang untuk mereka. Harga dan merek buatku bukan yang utama. Aku sering mencari sepatu di thrifted shop, mencari  mereka di tengah-tengah barang-barang sale atau di toko-toko antic pinggiran. Sekali lagi, harga dan merek bukan yang utama. Aku hanya cari yang nyaman. Yang modelnya aku suka lalu pas untukku. Ya ya, aku suka sepatu-sepatu merek merk terkanal itu. Itu tentunya aku beli dengan pertimbangan. Tapi sekali lagi, aku tidak selalu mencari merk. Aku peduli juga dengan harga. Buatku, merek bukan segalanya karena di saat sepatu itu kamu kenakan, maka tidak akan ada lagi yang mau peduli itu merek apa. Yang mereka pedulikan hanya indah dan sesuaikah dengan penampilan mu. Sepatu bisa terlihat mahal dari cara kita memadu-padankannya. Sepatu bisa terlihat menarik dari bagaimana cara kita memakainya. Sepatu indah dari siapa yang memakainya. Sepertinya begitu juga filosofi fashion. Fashion bukan tergantung dari apa merek apa yang kita pakai dan berapa harga baju sepatu dan tas yang kita kenakan. Fashion adalah bagaimana cara kita memakai barang-barang itu dan memadu-madankannya  dengan baik hingga orang bisa melihat barang murah menjadi sangat mahal, dan barang sederhana menjadi istimewa. ____ *Kali ini Jawa Sumatera Singapura :) **Sayang kalian bertigadipa! cups cups cups ! Hihihi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun