Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tamu yang Datang dari Entah

12 Juni 2010   12:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:35 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada titik titik hujan sesaat sebelum motor melaju kencang. "Jangan sekarang !!!" Kilat lampu. Darah. Terbangun lagi. Mimpi buruk siang bolong sialan. Suara bel menggema tiga kali. TIng tong ting tong ting tong. Ada tamu datang dari jauh. Menurutku sih begitu. Badannya bau jalanan. Rambutnya kusut.  Dia bilang mau mencari ibuku. Wajah yang sangat familiar, tapi aku lupa siapa. Ibu sudah meninggal tapi nampaknya dia tidak tahu. Kupersilakan dulu masuk dan duduk. Tampak lelah dia. Otakku masih mampet untuk sekedar memulai basa basi atau memberi eksplanasi. Aku permisi meninggalkan dia sebentar. Ingin membuatkan teh dulu. Sial, air habis. Aku lupa harusnya tadi menelpon warung untuk minta diantarkan aqua galon. Terpaksa masak air panas dulu. Sambil setengah mengintip sayup-sayup aku dengar si tamu berbincang-bincang. Mungkin menerima telpon. Teh sudah selesai dibuat. Pelan-pelan aku muncul di ruang tamu dengan nampan berisi cangkir dan kue kecil. Baru saja aku hendak menghidangkan teh di atas meja, dia tampak bersiap siap hendak pergi lagi. "Loh, mau ke mana? Diminum dulu ini tehnya." "Terimakasih." Tangannya meminum cepat teh yang baru kuletakkan. "Anak sibuk dan lelah ya? Mukanya pucat"  tanyanya setelah minum sembari menilikku dari atas ke bawah. "Ya, biasalah. Namanya juga kerja." "Biar begitu jangan lupa sama orang tua. Rindu mereka sama anak-anaknya." AKu terdiam. Sedikit tidak paham maksudnya. "Mari Anak, saya pulang dulu." "Loh, tapi katanya mau ketemu Ibu?" "Oh, sudah kok. Sudah ketemu dan ngobrol menyelesaikan urusan. Tadi waktu Anak bikin minum, sudah ngobrol sama Ibu. Mari, saya pulang." Aku terdiam. Ruangan jadi dingin. Si tamu bangkit dan keluar tanpa menjabat tangan. Pintu tertutup pelan. Lalu titik titik hujan turun. Titik titik membasahi kepalaku, dan sofa, dan teh di atas meja, dan lantai, dan lemari, dan hujan sesaat sebelum motor melaju kencang. "Jangan sekarang !!!" Kilat lampu. Darah. Terbangun lagi. Mimpi buruk siang bolong sialan. Aku segera melihat tanggalan. Sial, dasar pelupa.  Kulihat jam dan segera bangkit berdiri. Semoga masih sempat nyekar sebelum hari gelap. Untung Eyang Uyut yang tergantung di dinding pojok kamar datang mengingatkan.  Hari ini tepat dua tahun meninggalnya Ibu karena kecelakaan motor. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun