Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tentang Suatu Pagi

15 Mei 2010   02:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:12 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan ini saya bangun dalam bau bau yang begitu asing di sebuah pagi. Kapan terakhir saya yakin ini adalah hal benar yang saya lakukan? Saya lupa. Itu sudah terlalu lama sekali. Kapan terakhir saya begitu percaya diri dan tidak takut akan omong kosong? Tidak pernah sepercaya saat ini.

Ada hal hal yang bisa dipilih untuk dihadapi. Ada hal hal absurd yang tidak terhindarkan. Ada pilihan yang hanya muncul sebatas formalitas. Ada hidup yang sudah digariskan. Lalu kebebasan itu semacam durian mungkin. Ada yang suka ada yang tidak. Baunya enak buat yang suka. Bagi yang tidak: hoek, bikin muntah.

Saya masih memandang setiap jengkal visual yang tertangkap dan terproyeksi di bola mata saya. Mereka menyusun pecahan gambar, fragmen kecil kecil itu lalu berkumpul menjadi entah ilusi entah kenyataan. Bagaimana kalau semua ini hampa saja dan hidup bukan buat suatu apa. Hanya sebuah kebetulan indah yang tidak atau mungkin belum mampu dijelaskan oleh siapa pun. Masih jawaban yang butuh iman seluas samudra. Kalau tidak maka itu mitos belaka ,sayang.

Apa yang kita cari mungkin sudah ada sedari tadi. Ketika mandi pagi dan menyabuni diri. Kenapa harus mandi jika nanti kotor lagi? Pledoi orang malas tapi bukan berarti terjawab tuntas. Bersyukur bila kurang dihayati dan dilakui akan kemudian membawa pada galau yang datar. Sangat datar akan arti nafas itu paru paru. Tapi bersyukur kadang klise dan sungguh egois. Gila hormat yang membuat muak di titik tertentu. Bagaimana supaya bisa jadi Sai Baba atau bunda Teresa? Kenapa semua orang tidak bisa seperti itu saja. Tidak melulu pencarian pengakuan lewat lembaran uang atau konstruksi estetika tanpa kompromi.

Suatu pagi itu rutinitas yang mengerikan. Sekali lagi kita adalah titik kecil dari kelereng kelereng berjejer di hampa udara yang berputar bahagia. Hanya bagian dari skenario ledakan bintang bintang angkasa yang mungkin sedang mabuk berjalan sempoyongan yang kemudian bisa saja tiba-tiba duduk menyenggol keseimbangan grafitasi lalu BIG BANG. Aw. Dari kecil diajar untuk berdoa untuk pagi yang baru karena artinya masih disayang. Boleh lihat itu benda kuning bulat datang lagi. Ya ya ya. Hidup mengandalkan belas kasihan kadang terlihat begitu menyedihkan.

Entah saya menulis apa tapi saya pikir saya menemukan lagi itu keyakinan akan apa yang sedang saya jalani. Sekali lagi setelah hilang sekian lama. Saya percaya reinkarnasi. Saya percaya tri tunggal maha kudus. Saya percaya cinta. Saya percaya big bang. Saya percaya karma. Dan terakhir. Saya percaya dia. Ya. Kita hanya butuh percaya akan sesuatu. Lalu hidup. Itu saja cukup. Selamat pagi.

[Tentang suatu pagi di Jogja, 14 Mei 2010]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun