Childfree saat ini sedang ramai diperbincangkan di Indonesia dan pastinya mengundang pro dan kontra dari para netizen wajar, karena fenomena menarik seperti ini baru baru saja muncul di Indonesia.Â
Namun yang menjadi permasalahan ialah hujatan yang dilontarkan oleh orang-orang yang kontra terhadap orang yang pro dengan konsepsi childfree padahal, childfree merupakan istilah yang digunakan ketika seseorang atau pasangan suami istri memilih untuk tidak memiliki anak dan sudah berkembang lebih dulu di Eropa sejak abad ke-16 bahkan kini sudah banyak di anut di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Italia dan Swedia.Â
Childfree sendiri memang mengusung asas kebebasan yang mana hal ini lebih condong pada khas budaya barat dan memang kebanyakan orang di Indonesia yang sudah menganut konsepsi ini adalah mereka yang tinggal di luar negeri oleh sebab itu, kebanyakan masyarakat di Indonesia yang kontra terhadap konsepsi childfree menganggap bahwa fenomena ini merupakan salah satu bentuk westernisasi.
Netizen yang kontra terhadap childfree ini merasa bahwa hal tersebut merupakan konsepsi yang melenceng dari kewajiban manusia yakni berketurunan terutama bagi perempuan yang dicap belum menjadi perempuan seutuhnya jika belum pernah hamil, melahirkan, dan menyusui serta menganggap bahwa memiliki keturunan merupakan sumber kebahagiaan ketika sudah berkeluarga, memang betul namun, setiap orang memiliki standar kebahagiaan dan prioritasnya masing-masing. Tidak menutup kemungkinan apabila memiliki anak merupakan suatu hal yang kontradiktif dengan rencana ataupun prioritas mereka.Â
Tidak hanya itu banyak dari mereka yang telah berkeluarga baik yang sudah memiliki anak ataupun yang sedang dalam proses program hamil merasa terhakimi dan tidak dihargai keputusannya untuk menikah dan memiliki keturunan. Padahal dari definisi childfree sendiri ditekankan kata ‘memilih’ yang berarti Childfree merupakan sebuah keputusan personal dan bukan paksaan.
Mengapa konsepsi childfree ini dapat dijadikan bahan edukasi bagi masyarakat Indonesia?
Di lihat dari kasus banyaknya jumlah anak di panti asuhan yang tersebar di seluruh Indonesia atau bahkan anak-anak yang lahir dengan kondisi ekonomi yang kurang mencukupi sehingga hak-hak pokok yang seharusnya didapat seperti pendidikan, tempat tinggal layak, dan sebagainya pun tidak tercapai. Hal ini disebabkan oleh  orang-orang yang tidak mempertimbangkan tentang kematangan mental dan finansial sebelum memutuskan untuk memiliki anak.
Kemudian, kebanyakan orang tidak memiliki alasan untuk punya anak mereka merasa anak adalah kewajiban atau hal yang sudah semestinya terjadi ketika sudah berkeluarga atau bahkan ada juga yang tidak memiliki rencana apapun dan menganggap anak adalah titipan Tuhan padahal ada proses biologis yang juga terlibat didalam itu.Â
Tidak hanya itu kita lihat kasus sebaliknya (opposite case), ada juga orang tua yang sudah memiliki anak dan tetap fokus berkarir namun tidak memiliki kemampuan untuk mengatur waktunya bagi sang anak alasannya agar sang anak bisa hidup enak padahal kebutuhan manusia tidak sebatas materi saja, kasus seperti ini sangat miris sekali karena pernah minta untuk dilahirkan.
Contoh kasus lainnya yakni tentang istilah Sandwich Generation yang mana menurut Dorothy A. Miller sandwich generation adalah mereka yang ‘terjebak’ atau ‘terjepit’ dalam kondisi orang tua yang menua di waktu yang sama dengan usia anak yang beranjak dewasa (1981).Â
Pada kasus ini kebanyakan keluarga yang ekonominya menengah kebawah justru mendorong anak-anaknya terutama anak perempuan agar segera menikah sehingga tanggungan mereka akan berkurang dan kadang harapannya juga dapat sekaligus membiayai mereka (orangtua) namun hal ini justru membuka potensi terjadinya sandwich generation dimana sang anak nantinya akan memiliki anak yang tentunya harus di biayai dan di sisi lain sang anak juga harus membiayai orangtuanya.