Film menjadi salah satu sarana menghibur diri bagi beberapa orang di kala penat, stress, atau bosan. Di tahun 2017 perfilman Indonesia kembali menghadirkan genre komedi berbalut isu sosial dengan tema kesenjangan sosial dan pendidikan.
Stip dan Pensil merupakan film garapan Joko Anwar yang dibintangi oleh Ernest Prakasa (Toni), Ardit Erwandha (Aghi), Tatjana Saphira (Bubu), dan Indah Permatasari (Saras).Â
Tak jauh dari dunia sekolah, judul film Stip dan Pensil menggambarkan alur cerita seputar dunia pendidikan dan persahabatan yang mampu memberikan inspirasi bahkan sindiran dalam kehidupan nyata.
Sebagai penikmat film, kita tidak hanya menonton saja, melainkan juga bisa mengkritisi pesan yang ingin disampikan dari film tersebut dengan berbagai sudut pandang. Sudut pandang inilah yang biasa dikenal dengan sebutan paradigma.
Paradigma ini berfokus pada suatu perubahan dan konflik yang berorientasi pada tindakan. Paradigma kritis memiliki tujuan untuk memberikan kritik dan transformasi sosial. Dengan begitu, penelitian kritis bisa mengkaji realitas sosial untuk mengupayakan perubahan yang lebih positif.
Paradigma kritis mengasumsikan adanya skenario besar terhadap perubahan sehingga mampu membangkitkan perlawanan dari kelompok minoritas di masyarakat (Halik, 2018, h. 172). Â Â
Sisipan Isu Kesenjangan Sosial dan Pendidikan
Film Stip dan Pensil menyuguhkan komedi segar dengan sisipan isu kesenjangan sosial dan pendidikan. Film ini berawal dari kisah empat anak sekolah yang diminta oleh salah satu gurunya membuat esai mengenai kehidupan sosial di sekitar mereka.
Sembari berpikir keras mengenai judul esai apa yang kira-kira cocok, Toni, Aghi, Bubu, dan Saras justru dipertemukan oleh salah satu anak jalanan yang biasa mengamen di pinggir trotoar. Ide cemerlang Aghi pun muncul, ia ingin mengangkat esai mengenai pentingya sekolah bagi anak jalanan.