Makan malam tadi saya berkunjung kesebuah restoran Padang di sebuah Mall bersama partner saya. Selesainya menyantap rendang special resep karuhun favorit, saya meminta tusuk gigi kepada waiternya. "Oke, toothpicks ya bu?" sahut sang mbak. Sekilas memang tidak ada yg aneh dari jawabannya, sampai saya menyadarinya kemudian setelah beberapa permintaan lainnya. "Mbak minta air putih ya?", sang mbak menjawab "mineral water ya bu?" "Mbak, saya minta bon ya.", sang mbak menjawab lagi "ini bu bill-nya, silahkan" Setiap kali saya meminta dalam bahasa Indonesia, sang mbak menjawabnya dengan campuran bahasa Inggris. Kalau mau diingat-ingat hal ini bukanlah yang pertama kali. Di sebuah hotel saat sarapan pagi saya bahkan sempat ngotot dengan sang mas waiter perkara air tapi ini karena keisengan saya memuncak. "Mas, saya minta air putih (lagi-lagi masalah air)", "you mean mineral water mam?" sahutnya. "Bukan, saya minta air" sahut saya sebal, "iya, mineral water kan?" sahutnya lagi. Lah kok ngeyel sih, sebagai tamu saya juga tidak mau kalah ngotot. "Saya ga ngerti mineral water mas, saya tahunya air" sahut saya asal bin gemas. Sang mas waiter berlalu dan membawakan saya sebotol air mineral dingin... "Ini bu mineral waternya silahkan." sahutnya tetap ngotot. Hal ini juga terjadi ketika saya meminta es teh, dibalasnya dengan sebutan ice tea, kopi panas disahutnya hot coffee. Obrolan mengenai bahasa ini membuat saya penasaran, saya jadi ingat bagaimana bahasa sapaan di customer service (rasanya tidak ada yang menyebutnya pelayanan pengunjung?) berganti menjadi bahasa Inggris sebelum berbahasa Indonesia. "Good morning, XX company, may I help you?" ini kilasan standart sapaan. Bahkan pemberitahuan sebuah ponsel yg tidak aktif atau diluar jangkauan diawali dengan bahasa londo itu untuk 3 provider yang saya gunakan. Coba tes provider telepon kalian deh. Saya juga ingat bagaimana teman-teman saya dalam bergaul memakai bahasa campursari itu "you knowlah, di era globalisasi ini english looked so cool, kita terlihat smart if you know when we have to using bahasa Inggris dalam percakapan" sahut miss Gaol di telepon tadi. Sebelum menuding hidung orang tentunya saya juga harus menuding hidung sendiri dulu. Ternyata saya sendiri juga suka pakai bahasa campursari, terbawa suasana obrolan biasanya. Padahal jujur ngomong, bahasa Inggris saya tidak bagus-bagus amat walaupun mengantongi sertifikat level advance dari sebuah lembaga bahasa asing. Saya juga berbahasa inggris bila berbicara dengan partner saya yang berinisiatif untuk melatih lidah katrok saya. "Ngakunya kerja di Multi-National Company, tapi bahasa Inggris-nya Indolish (Indonesian English) banget!!" omelnya kepada saya. "Egh, yang penting direktur gue yg bule ngerti gue ngomong apa!" omel saya balik sembari mengeluarkan jurus ngeles. Masih penasaran saya menulis email ke seorang teman yang berada di belahan Perancis apakah hal ini juga terjadi di negara lain. Dia membalas email saya dengan tertawa membaca email saya. Dia bilang kalau di Perancis orang akan berbahasa perancis dulu sebelum berbahasa inggris. Bahkan cenderung sombong karena tidak teralu ingin menggunakan bahasa lain selain bahasa mereka dan cukup menyulitkan turis kalau tersesat. "Bahasa Indo malu-maluin sih jadi orang lebih milih pakai bahasa inggris, kan kelihatan keren biar terlihat eksis gitu lo!" ketiknya. Mendadak jadi ingat sebuah iklan yang bilang "Mau eksis jangan lebay please!". Kita berangan-angan memperbaiki negeri ini katanya, menghujat ramai-ramai bangsa asing yang kabarnya menjajah secara diam-diam dengan memasukkan produksi mereka ke pangsa pasar kita tapi kitanya juga lebih bangga menggunakan barang brand luar. Sibuk teriak budaya kita dimaling tetangga sebelah, lah kalau pentas-pentas seni itu tariannya disebut dance modern, lagu yang dinyanyikan lagu londo. Coba bikin survey, berapa banyak yang plesiran favoritnya negara lain dibanding wisata lokal apalagi kalau Bali tidak dimasukkan kedalam list. Ternyata di negeri yang ngakunya sudah merdeka 65 tahun, kita masih terjajah. Terjajah oleh diri kita sendiri sih. Tetapi saya masih mempunyai mimpi, mimpi besar dan mungkin rada kejauhan untuk memperbaiki negeri yang kabarnya bobrok ini, negeri yang anak bangsanya masih malu memakai bahasa-nya sendiri, di negeri yang merdekanya ditebus dengan darah jutaan pejuang ternyata menempatkan bahasa ibu-nya sebagai bahasa kedua. Mimpi ini tidak dapat saya capai sendirian, saya butuh kalian untuk berjuang bersama untuk menjadi virus! Maksudnya dengan berbenah diri dan menularkannya ke sekitar. Jangankan mengubah dunia, kadang kita lumayan ngos-ngosan untuk mengubah diri sendiri ya? Tapi dengan semangat saya mau! Kalau sudah mau ujungnya pasti bisa. Dirgahayu Indonesiaku! Merdeka!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H