Bagi keluarga saya yang lidah dan seleranya Indonesia sekali nyambel itu hukumnya wajib setiap hari. Sambal terasi bikinan ibu luar biasa muantab dengan pedas menyengat, manis, dan gurih bercampur terasi bakar, dipadu dengan ikan asin jambal roti kesayangan saya atau ikan asin peda bakar yang akan menjadi pemborosan beras karena makan bisa nambah berkali-kali disajikan hangat diatas cobek langsung ditambah lalapan selada segar! Inilah alasan saya yang selalu setia pulang kerumah, menemani ibu saya menikmati masa tuanya. Bagi beberapa teman bule kebiasaan menyantap memakai sambal dianggap aneh apalagi dicampur terasi yang aromanya aduhai untuk mereka. Pernah teman saya di Australia sana menggoreng sambal dengan terasi yang didapatnya di pasar asia didatangi tetangga yang mengartikan aroma sambal goreng itu dengan bau busuk, sang suami yang memilih keluar rumah karena tidak tahan dengan baunya meninggalkan sang istri yang cuek bebek saja menyantap sang sambal. Hal yang biasa, sepulang saya dari kantor ibu akan mengupdate anak gadisnya tentang keadaan rumah, berita artis, sampai harga bahan pokok dipasar sembari menyiapkan makan malam. Sampai beberapa hari belakangan ini si cabai ulek menghilang dari peredaran meja makan yang membuat saya bertanya, kemana perginya dia? "Harga cabe lagi saingan dengan harga daging, sekilo harganya hampir sama dengan daging! Sampai harga turun kita puasa makan sambal." Celoteh ibu saya. Tidak hanya keluarga yang memutuskan putus hubungan dengan cabai, warteg dekat rumahpun demikian, kemarin saya masih menemukan sambal walau komposisi dengan tomat banyakan tomatnya. Tapi kemarin sewaktu saya longok mpok Iyem tidak lagi menyediakan sambal. Tapi cabai rawit gelondongan dan masing-masing customer dijatah mengambilnya yang akan dipelototi sadis kalau minta tambah. Abang Japra tukang gorengan langganan dekat kantor juga begitu, tidak ada cabe rawit lagi untuk menemani makan tahu sumedang panasnya. "Habis, pembeli dikenakan cas tambahan untuk cabe ga mau, ya sudah tidak usah disediakan sajalah" sahutnya. Hebatnya si abang ngerti juga soal charge tambahan seperti kartu kredit saja. Kebiasaan latah rupanya bukan milik mpok Iyem saja tapi juga merambah keharga-harga, Tarif Dasar Listrik naik lantas seluruh sektor menaikkan harga dan selalu saja lupa untuk turun. Seperti sayur pepaya yang jarang laku biasanya hanya Rp. 1000,- kemarin naik menjadi Rp. 3000,- itu juga dengan porsi yang mengecil. Beras apalagi, seliternya Rp. 6000,- untuk yang masih layak makan walau sedikit perak, dibawah harga itu miris untuk dibeli. Saya bingung mengapa harga bisa naik drastis belakangan hari secara saya bukan seorang ekonom, yang saya tahu negeri ini subur, sdm juga tidak kekurangan dan harusnya harga-harga bisa murah karena diproduksi lokal. "Produksi lokal kurang bisa memenuhi kebutuhan, jadi banyak bahan yg kita import" kata teman saya pengamat ekonomi dadakan. Penjelasannya membuat saya jadi makin bingung. Sama bingungnya ketika saya tahu bahan membuat tempe itu kedelainya dari luar negeri. Makanan rakyat indonesia semakin keren karena makanan import lo! Harusnya kita bangga dong? Terlepas dari bangga ga bangga bahwa negara yang katanya dulu sewaktu saya SD "gemah ripah loh jenawi" , saya bertanya daripada uangnya buat import apa tidak mendingan digunakan untuk meningkatkan produksi dalam negeri? "Sulittttttt, di luar negeri sana sudah swasembada pangan, produk mereka banyak dan bagus-bagus lagi. Kelebihannya "dibuang" kepasar luar, salah satunya ya negara kita ini. Ningkatin produksi dalam negeri emang gampang? Dikira cuma butuh waktu semalam kaleee" Omel ekonom dadakan. Lelah rasanya berdebat tanpa ada solusi yang nyata, yang saya tahu akan bertambah jumlahnya rakyat lapar diluar sana. Sesampainya dirumah kepulangan saya ternyata sudah dinanti ibu dan adik yang rupanya ingin mengajukan proposal kenaikan uang belanja dan uang saku. Semoga, ya semoga saja dengan kenaikan harga cabai ini petani cabai di Indonesia kena imbasnya, imbas positif tentunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H