Belakangan ini saya sering terbang *eaaa gaya* ke beberapa kota dalam rangka bertugas di event  Emotional Healing Indonesia (EHI) bersama Teh Irma Rahayu. Alhamdulillah sebagian besar menggunakan pesawat GIA. Namun belakangan ini keterlambatan pesawat rupanya tak mutlak disandang oleh singa udara saja. Beberapa kali kami terlambat pulang ke Jakarta karena pesawat GIA tak kunjung sampai di bandara tujuan. Contohnya waktu pulang dari Solo dan Pekanbaru. Sempat prasangka buruk tuh, "Eaaa GIA kok telat mulu sekarang sik... mau nyaingin singa?" Ternyata eh ternyata keterlambatan itu disebabkan para burung besi tersebut antri mau take off dari Soetta. Ketiba tiba dari Pekanbaru (atau Makassar... lupa) Teh Irma sempat mengabadikan gambar di bawah ini dari balik jendela pesawat GIA kami yang akan menuju tempat parkirnya. Yakni gambar pesawat yang berjejer menunggu giliran untuk terbang. Dan belakangan kami emang merasakan Bandar Soetta tak cukup layak lagi menampung sekian jadwal penerbangan. Bayangkan, kami tiba di bandara jam 3 dini hari saja, situasi sudah ramai. Belum lagi kondisi toilet yang memprihatinkan. Saya pernah mendapati toilet yang belum disiram, pesing, dan... terutama niii... kekuatan air untuk ceboknya kuenceng banget boookk... sampai suakit nih hihihi. Kemudian ada berita kalau Bandara Halim akan difungsikan kembali sebagai bandara komersial. Sekilas ingatan masa lalu membayang. Waktu saya SD pernah beberapa kali merasakan terbang dari Halim menuju Jogya, kampung halaman Bapak saya. Sekarang beberapa rute penerbangan akan pindah lagi ke Halim, horeee paling nggak lebih dekat dari Cibubur dan Depok. Habis nggak tahan macetnya deh. Kalau kami tiba di Soetta jam 18 or 19 nih... bisa 2,5 hingga 3 jam waktu diperlukan untuk tiba di Cibubur. padahal kalau jalanan lancar, satu jam doang!!! Pernah saya dan Teh Irma tiba di Soetta jam 16.00 jam 17,00 nya sudah tiba di Cibubur. Kalau situasi terminal 3 Soetta mah lebih mending dan enak. Mirip-mirip Bandara di Dubai or Hong Kong yak... saya lupa. Parkir juga lebih simple dan terkendali. Situasinya nggak mirip pasar deh. Sayang GIA bukan terminal 3 letaknya. Meski pesawatnya parkir di terminal 3 tapi tetap para penumpang diangkut bus untuk turun di terminal 2 yang puaaaannjaaang dah jaraknya menuju pengambilan bagasi dan pintu keluar. Anyway buswaaay... bukan hanya terkait masalah terminal dan toiletnya soal pesawat bagi saya mah... sebetulnya saya takut banget terbang hihihi. Terutama kalau mengalami turbulensi. Padahal Bapak saya sendiri dulu seorang pilot (alumni Curug) dan sekarang instruktur penerbangan di salah satu sekolah pilot swasta. Err.... nggak ada hubungannya juga sih punya Bapak mantan pilot ama takut terbang. Yang pilot kan babe, bukan sayah *bela diri*
Menurut info dari Mbah Google, turbulensi adalah  guncangan pesawat yang disebabkan oleh benturan massa udara yang datang dengan kecepatan yang cukup tinggi dari berbagai arah yang terjadi di kolom udara. Hal ini akan mengakibatkan pesawat mengalami guncangan bahkan seperti diempaskan. Kejadian ini mirip dengan melindas gundukan saat Anda mengendarai mobil di jalanan. Biasanya Mang Gun, tim EHI bagian IT dan bikin presentasi suka koplak bilang aspal di udara grajulan jadi pesawat goncang-goncang. Masih menurut si Mbah... ada beberapa jenis turbulensi, yakni: 1. Turbulensi selama badai merupakan satu-satunya turbulensi yang dapat dilihat. Arus naik dan turun yang kuat bisa mendorong pesawat ke atas atau turun sebanyak 6.000 kaki, solusinya ya pilot kudu membawa pesawatnya jauh dari badai bila terbaca di radar bahwa akan ada badai. Namun katanya sih cuaca buruk bukan unsur paling bahaya dalam penerbangan dalam melewati badai. Yang bahaya ialah kalau ada petir atau hujan batu es yang bisa merusak jendela kokpit atau mesin. 2. Turbulensi di Gunung
Saat angin kencang bertiup mengarah ke pegunungan, udara mengalir dari puncak gunung menghasilkan turbulensi dalam bentuk gelombang saat mencapai sisi lain gunung. Proses ini sama seperti gelombang laut yang memecah pada sisi karang yang terendam. Turbulensi ini tidak dapat terlihat jelas. Pilot dapat mengantisipasi "gelombang gunung" saat mereka terbang di atas gunung. Para pilot seharusnya sudah paham dengan potensi bahaya ini. Saat kondisi pesawat aman dari gelombang gunung, ada peringatan lain yakni "gelombang awan" lenticular. 3. Turbulensi Tak Terduga Jenis paling berbahaya dari turbulensi yakni Clear Air Turbulence (CAT). Turbulensi ini tidak terlihat dan datang tanpa diduga. Ancaman ini bisa menimpa kapan saja selama penerbangan. Salah satu penyebab utama CAT yakni batas antara aliran jet dan gerakan udara yang lambat berdekatan dengan pesawat. Batas tidak terlihat ini memberikan kejutan. Ancaman terberat mengarah pada penumpang yang melepas sabuk pengaman saat pesawat melintasi area ini.
Itu sebabnya meski lampu tanda sabuk pengaman telah mati, penumpang sebaiknya tetap mengeratkan sabuk pengaman karena kalau ada CAT, yang membuat pesawat tiba-tiba anjlok ke bawah, penumpang nggak cedera. Biasanya yang cedera tuh yang lagi jalan-jalan di lorong pesawat atau lagi di toilet, kepalanya kejedot apaan terus bocor. Kejadian turbulensi ngeri yang pernah saya dan teman-teman EHI alami ialah waktu terbang pakai AA dari Jogya ke Jakarta beberapa bulan lalu. Padahal pilot baru aja mengumumkan akan segera landing. Eyalaaah tapi kok lama banget dan mendadak pesawat goyang-goyang dan turun tiga kali. Saya sudah meremas tangan Teh Irma yang duduk di sebelah saya, sementara Branti dan Yulista pun sudah saling meremas tangan. Mang Gun yang duduk dua bangku di depan kami, pasang tampang jaim, meski sesekali melirik ke arah Teh Irma.
Huaaa.. itu mencekam banget deh. Entah kenapa AA memutuskan terus, sementara kami mendengar GIA aja memutuskan mendarat darurat di Lampung. Deg-degannya setengah mampus, mulut komat-kamit berdoa memohon keselamatan. Meskiii kata para pilot di Google turbulensi nggak perlu dikhawatirkan, tetap sajah jantung mau copot bapak-bapak pilot hehehe. Kemudian dari salah seorang klien Teh Irma yang jauh-jauh terbang dari Manado untuk konsultasi privat, kami mendapatkan bocoran, terbang yang aman itu pagi banget atau malam banget sekalian, turbulensinya lebih ramah. Saya langsung cari bocoran dari Bapak saya, katanya memang iya. Sejak itu kalau terbang ke mana-mana, kami minta panitia pesan pesawat paling pagi hihihi. Meski kami harus bangun jam 2 pagi untuk mengejar penerbangan jam 4.10. Â Nggak masalah lah. Pulang malam juga menguntungkan... nggak macet jalanan hahahaha. Yah, namanya kalau mau celaka sih bisa di mana saja dan dengan kendaraan apa saja. Tapi usaha maksimal dulu lah. Kenapa kami selalu pilih GIA, karena GIA biasanya nggak terlalu nekad. Dia bisa mendarat darurat di mana kek kalau memang nggak bisa ke daerah tujuan karena cuaca buruk. Tapi emang paling enak kalau pakai pesawat besar sejenis Airbus yang untuk ke LN tuh... biasanya turbulensi nggak begitu terasa dan saya bisa bobok dengan tenang. Kalau penerbangan lokal bangsa sejam dua jam mah, boro-boro bisa bobok di pesawat. Sengantuk apa pun, cuma bisa merem sekilas kagak nyenyak. Waktu ke Makassar yang memakan waktu 2 jam, nyenyaknya cuma 10 menit kali saking ngantuknya hehe. Dan konon katanya kalau takut terbang jangan pilih duduk paling belakang karena turbulensi paling terasa. Err... justru kami seringnya di belakang karena deket ke toilet hahahah, dan saat turbulensi lebih tenang kalau melihat ke luar (terutama melihat sayap pesawat). Semoga sistem keamanan
transportasi udara semakin hari semakin canggih sehingga tingkat kecelakaan bisa berkurang drastis. Aamiin...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Otomotif Selengkapnya