Selepas menunaikan shalat Isya’, pengurus surau berdiri di depan mimbar. “Shalat tarawih kita seperti sebelum-sebelumnya dilaksanakan 20 raka’at dengan 3 raka’at shalat witir. Mari para jama’ah kita bersama-sama melaksanakan shalat tarawih dengan khusuk dan tertib.”
Entah siapa yang memulai, jama’ah yang sebelumnya hening, tenggelam dalam doa pengharapan, tiba-tiba bersuara gaduh. Mulut mereka mengeluarkan gumaman mirip dengung lebah.
“Bid’ah...!” terdengar lengkingan suara dari sudut sebelah kanan shaf, memecah suara dengungan lebah itu. Tak jelas siapa yang mengeluarkan suara.
“Ya, bid’ah! Setiap bid’ah adalaha kesesatan....” jama’ah lain menimpali dari sudut lainnya.
Seseorang yang bertubuh gemuk dan nampaknya memiliki pengaruh berdiri di antara jama’ah yang sedang bersila. Tubuhnya yang besar bagai raksasa di tengah-tengah kurcaci. Ia memerintah Imam dengan nada tinggi. “Tidak...tidak bid’ah. Teruskan saja, Imam. 20 raka’at....!”
“Delapan raka’at....”
Si tubuh besar memandang asal suara, “Jika kalian menginginkan delapan raka’at, kalian pulang saja.”
“Masalahnya ini sesat. Kami tak bisa membiarkan kesesatan ada di surau kami...”
Pengurus surau tampak grogi. Beberapa kali dia membetulkan letak peci lusuhnya yang kekecilan. Dia berusaha menengahi yang sedang bertikai. Tapi suaranya yang lirih tenggelam oleh suara-suara yang bertengkar.
Pertengkaran di dalam surau semakin ramai ketika ibu-ibu yang ada di shaf belakang, yang hanya disekat selembar kain, pun ikut ambil bagian dalam keributan itu.
“Surau kami? Semenjak kapan kalian merasa surau ini sudah jadi milik kalian...?”