[caption caption="Operasi militer Pembebasan Sandera Pembajakan DC-9 Garuda Woyla oleh Kopassandha (foto: Angkasa/DN Yusuf}"][/caption]
Dua kapal Indonesia, yakni kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 telah dibajak kelompok yang mengaku Abu Sayyaf di Filipina. Kedua kapal itu membawa 7 ribu ton batubara dan 10 awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Saat dibajak, kedua kapal dalam perjalanan dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan, menuju Batangas, Filipina Selatan. Kapal yang memulai pelayaran pada 15 Maret dan baru diketahui dibajak setelah pada 26 Maret pemilik kapal menerima telepon dari seseorang yang mengaku dari kelompok Abu Sayyaf bertanggungjawab atas pembajakan kapal dan penyanderaan 10 WNI itu.
Abu Sayyaf adalah kelompok separatis milisi Islam garis keras yang berbasis di sekitar kepulauan selatan Filipina, antara lain Jolo, Basilan dan Mindanao. Kelompok kriminal ini meminta tebusan 50 juta Peso Filipina atau sekitar Rp15 miliar jika ingin seluruh sandera dibebaskan, dengan tenggat waktu pembayaran 8 April.
Indonesia bertekad tidak akan tunduk terhadap permintaan uang tebusan dari penyandera 10 WNI yang diduga dilakukan kelompok Abu Sayyaf ini. Namun, Indonesia akan tetap menggunakan cara halus terkait pembebasan para anak buah kapal (ABK) itu. "Itu prinsip kita, kita akan upayakan pembebasan tanpa syarat," ujar Kepala Badan Intelijen Negara, Sutiyoso, di Jakarta, Sabtu (2/4/2016) seperti yang dilansir Antara.
Pemerintah sendiri mengaku telah menyiapkan seluruh opsi, baik bernegosiasi, membayar tebusan atau perlawanan militer, dalam menyelamatkan 10 WNI yang disandera itu. Kita sepakat apapun opsinya, selama itu demi prioritas keselamatan sandera. Namun kita juga berharap agar kedaulatan negara dan bangsa kita ditegakkan dengan penuh ketegasan, keberanian, keyakinan dan kewibawaan di mata dunia.
35 tahun silam tepatnya 28 Maret 1981, pesawat DC-9 Garuda Woyla kita pernah dibajak. Pesawat didaratkan di Bandara Don Muang, Thailand. Saat itu, Presiden Soeharto tegas tidak mau bernegosiasi dengan pembajak. Bagaimana mungkin sebuah negara yang berdaulat penuh bersedia bernegosiasi dengan para kriminal? mungkin itulah yang melandasi Soeharto mengirimkan Kopassandha (sekarang Kopassus) ke Don Muang.
Operasi penyelamatan yang hanya membutuhkan waktu 81 detik itu sukses besar membebaskan sandera dan menewaskan semua pembajaknya. Operasi inilah yang menempatkan Kopassus sebagai pasuken elite terkuat ketiga dunia setelah SAS (Inggris) dan Mossad (Israel).
Tanggal 16 Maret 2011, Kapal MV Sinar Kudus berbobot mati 8.900 ton milik PT Samudera Indonesia yang sedang membawa nikel curah seharga Rp 1,4 trilyun dari Pomalaa Sulawesi Tenggara ke Roterdam dibajak perompak Somalia di Teluk Aden. Pembajak yang menyandera 20 ABK warga negara Indonesia meminta tebusan senilai USD 3,5 juta.
Presiden SBY yang mendengar laporan segera menggelar rapat terbatas dan memberi persetujuan kepada Panglima TNI memberangkatkan pasukan. 2 frigat, yakni KRI-355 Abdul Halim Perdanakusuma dan KRI-353 Yos Sudarso yang tergabung dalam Satgas Duta Samudera I pun diberangkatkan.
Satgas yang berangkat dari Tanjung Priok tanggal 23 Maret dan tiba di perairan Somalia tanggal 5 April dianggap terlalu lambat. Seharusnya militer segera mengirim pasukan setelah ada kejadian tanpa harus menunggu rapat-rapat pimpinan sipil. Pelaksanaan operasi tentu harus menunggu keputusan presiden, tetapi pengerahan pasukan seharusnya dapat dilakukan secepatnya.