Helikopter jenis Boeing CH-47 Chinook - Ilustrasi: Kompas.com
Judul di atas saya ambil dari pernyataan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, di akunnya @ryamizard_r: “Jika Indonesia berperang, paling hanya mampu bertahan dalam 3 hari”. Lha, iki piye, Jal? Menhan aja gak pede dengan kekuatan militer kita, bagaimana dengan kita? Padahal menurut prediksi beberapa pengamat, 8 tahun lagi perang akan beralih di Asia Pasifik ini. Nah loh ...
Prediksi pengamat itu mendasar. Perkembangan imperium militer AS yang bisa disimak dari pernyataan Menteri Pertahanannya, Leon Edward Panetta, menyatakan bahwa 60 persen kekuatan militer AS akan pindah ke kawasan Asia Pasifik mulai 2012 hingga 2020.
Reposisi kekuatan militer AS tersebut ada dibawah kendali dan tanggung jawab Andy Hoehn, Wakil Menhan AS untuk bidang strategi. Hoen dan dan rekan-rekannya mengatur tahapan implementasi akan apa yang disebut Goerge Bush dulu sebagai strategi perang pencegahan terhadap “persatuan negara-negara merah dan orang-orang jahat”.
Jadi, perang terhadap terorisme adalah sebagian kecil dari alasan strategi militer AS di belahan dunia. Yang sebenarnya adalah untuk membangun cincin baru dari Pangkalan militer sepanjang khatulistiwa guna memperluas imperium militer AS mendominasi dunia.
Sejak April 2012, sebanyak 200 pasukan AS telah tiba di Australia sebagai gelombang pertama dari 2.500 pasukan yang direncanakan hingga 2017 nanti ditempatkan di negara yang selama hidup bertetangga tak pernah menunjukan kemauan bersahabat dengan tetangga dekatnya ini.
Washington Post melaporkan bahwa rencananya militer AS akan menempatkan pesawat tempur berawak dan tidak berawak yang dikenal dengan nama Global Hawk. Secara prinsip Indonesia tidak memiliki wewenang untuk ikut campur dalam rencana mereka. Namun, tujuan mereka jelas bisa ditebak dengan menempatkan pesawat tak berawak di bawah jendela rumah kita ini.
Lantas, bagaimana sih sesungguhnya kekuatan TNI kita, sampai-sampai Pak Menhan sendiri meragukannya?
Persoalan pertahanan bukan hanya soal tentara dan senjata saja, tapi dayadukung terhadap operasional tentara bersama perangkatnya seperti kendaraan tempur, kapal perang, hingga pesawat tempur memerlukan dukungan untuk mobilisasi. Tidak saja ketersediaan jalan atau bandara, tapi juga bahan bakar dan energi untuk mengoperasikan peralatan perang yang ada.
Kalau kita mau menjadi negara yang memiliki konsep negara kuat, sudahi klaim pertahanan hanyalah urusan tentara saja. Kembalilah pada konsep holistik, bahwa pertahanan butuh dukungan banyak aspek. Dan di era teknologi sekarang ini, cukup dengan serangan virus saja sebuah negara bisa lumpuh. Mungkin ini lho kira-kira yang menjadi keraguan Pak Menhan.