Sumber Gambar: Roficky.wordpress.com
Jelang pilpres 2014 yang lalu, seorang surveyor memaparkan hasil surveinya pada sebuah acara di stasiun tivi:
“Sejumlah responden kami tanyai, seandainya pilpres jatuh pada hari ini siapakah yang anda pilih. 100 persen menjawab memilih Prabowo...”
“Lho, kok bisa 100 persen? Metodologi apa yang anda pakai?” tanya pembawa acara.
“Saya melakukan surveinya di kantor Gerindra.”
Ternyata pemaparan survei itu dilakukan oleh Cak Lontong di acara Indonesia Lawak Klub (ILK) dan tujuannya pun hanya untuk hiburan semata. Tapi, meskipun guyon, publik jadi bertanya-tanya tentang keakuratan dan metodologi yang digunakan lembaga-lembaga survei selama ini.
Keberadaan lembaga survei sudah merupakan kebutuhan dasar sistem demokrasi. Demokrasi akan berfungsi efektif dan stabil jika responsif terhadap persepsi, harapan dan evaluasi publik. Monitoring opini publik secara berkala akan menjadi masukan bagi proses politik dan pembuatan kebijakan. Survei yang dilakukan secara benar merupakan cara yang paling efisien, efektif dan akurat untuk memantau opini publik.
Dengan demikian, pemerintahan yang demokratis akan menjadi semakin legitimate, stabil, bertanggungjawab, dan efektif. Dengan cara itu pula survei opini publik menjadi ‘barometer’ aspirasi masyarakat dalam rumusan pembuatan kebijakan. Karena itu survei opini publik bisa menjadi pilar demokrasi kelima setelah lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan pers.
Dan metodologi survei yang dilakukan Cak Lontong di atas jelas bukanlah survei yang benar, alias ngawur. Lantas, bagaimana sih survei yang benar itu?
Belum lama ini, Lembaga Populi Center merilis hasil survei terkait tingkat popularitas dan elektabilitas sejumlah tokoh. Survei dilakukan mengingat pada 2017 akan dilaksanakan pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Menarik untuk disimak, ditengah terpaan badai kasus RS Sumber Waras dan kasus raperda reklamasi, berdasarkan survei Populi elektabilitas Ahok malah meningkat. Meski diterpa kontroversi, elektabilitas Ahok sedikit naik dibanding bulan Februari 2016, yaitu dari 49,5 persen menjadi 50,8 persen.