Menyaksikan ratusan pelayat yang mengantar pemakaman jenazah seorang gembong narkoba yang dieksekusi mati, saya suka bertanya-tanya di dalam hati, apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada bangsa ini? Seorang pelaku kejahatan yang meracuni bangsanya sendiri dengan 1,4 juta butir ekstasi kok bisa mendapatkan penghormatan demikian besar?
Belum lama ini, seorang gembong teroris yang berhasil ditembak mati oleh aparat keamanan juga dimakamkan. Ribuan pelayat ikut mengantar jenazahnya. Orang yang menggunakan sebagian hidupnya hanya untuk menciptakan ketakutan kepada orang lain, dielu-elukan sebagai syuhada. Saya benar-benar gak habis pikir.
Sebagai seorang ibu atau seorang ayah, tidakkah anda mengkhawatirkan perkembangan anak-anak anda. Anak-anak mudah merekam sebuah peristiwa dalam pikiran bawah sadarnya dan meniru tanpa mempertimbangkan baik buruknya. Jangan sampai anak kita di kemudian hari berkata, “Enak jadi bandar narkoba atau teroris. Hidup kaya raya dan ditakuti serta dihormati banyak orang.” Na’udzubillahi min-dzalik.
Saya pernah membaca sebuah link kiriman seorang teman di medsos, kenapa gembong narkoba itu mendapatkan penghormatan demikian besar di saat kematiannya. Sebelum dieksekusi mati, konon si gembong narkoba itu membuka tentang jaringan aksi kejahatannya. Dalam aksinya selama ini konon katanya dia bekerjasama dengan aparat penegak hukum di negeri ini yang seharusnya memberantasnya.
Kita memang bangsa pemaaf dan mudah bersimpati. Apalagi jelang ekseskusi, si gembong narkoba itu berpesan meminta didoakan oleh anak-anak yatim. Mungkin kisah dramatis yang dipublish banyak media itu yang menggerakan orang-orang untuk memberi penghormatan pada para penjahat semacam ini. Melupakan 1,4 juta butir ekstasi yang dapat meracuni separuh anak bangsa ini, dan jutaan anak yang akhirnya menjadi yatim karena pil setan ini.
Begitu juga dengan teroris yang tertembak itu. Ada segelintir media yang keras mempertahankan opininya bahwa si teroris itu bukanlah teroris, melainkan mujahid yang menjadi syuhada. Astaghfirullah al Adziim. Apa sesungguhnya yang ingin mereka sampaikan? Tak cukup kah darah yang sudah mengalir di tanah ini? Darah yang memercik akibat api kebencian yang mereka kobarkan?
Tadi siang, saya bertemu dengan seorang sahabat semasa sekolah yang sekarang menjadi perwira tinggi di sebuah instansi kepolisian. Saya mencurahkan kekhawatiran-kekhawatiran saya itu. Sahabat saya itu hanya tersenyum. “Media terlalu membesar-besarkan peristiwa itu, Ra. Ingat, gambar atau berita kadang menipu.”
“Lho, kok bisa?” tanyaku.
“Gini deh. Si Freddy atau Santoso memang memiliki jaringan yang besar. Tapi media dan juga medsos yang kadang terlalu membesar-besarkan mereka. Misalkan si Freddy ini, sehari jelang eksekusinya, KontraS mem-publish informasi di medsos yang menurutnya adalah pengakuan si Freddy tentang kebusukan aparat. Hal ini menimbulkan rasa ingin tahu publik dan mendorong mereka untuk berbondong-bondong melihat dari dekat peristiwa itu. Dan kami biasanya gak mau ‘kecolongan’ dalam hal pengamanan, sehingga harus mengantisipasinya semaksimal mungkin. Demikian juga dengan kematian teroris Santoso.”
Sahabat saya itu pun menjelaskan, kelompok Santoso berafiliasi dengan kelompok Abu Sayyaf. Kedua kelompok itu telah menyatakan bergabung dengan teroris ISIS. “Tahu kan gimana kelakuan Abu Sayyaf dan ISIS itu. Ya, mereka suka ngebom bunuh diri, menculik dan memenggal sandera jika tidak diberi uang tebusan. Mereka sebenernya gak lebih dari gerombolan bandit. Menggunakan dalil agama untuk melakukan kejahatan.”
Soal foto atau informasi pemakaman yang dijejali banyak orang, itu tidak membuktikan kalau Santoso diatas jalan yang benar, demikian kata sahabat saya itu. Sama sekali bukan bukti kalau Santoso itu seorang mujahidin yang mati dan menjadi syuhada. Kenapa? Karena orang yang datang itu sebenarnya berbagai macam motivasi yang membuat mereka mendatangi pemakaman tersebut.