Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mukena

9 Juni 2016   23:56 Diperbarui: 3 Juli 2016   18:46 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mardiyah kalap. Pasalnya, mukena kesayangannya hilang di jemuran. Mukena itu bukan sembarang mukena. Mukena itu pemberian Ibu Walikota yang dihadiahkan khusus untuk Mardiyah sebagai timses kemenangan suaminya pada pilkada tahun kemarin.

Padahal Bu Wali (Ibu Walikota) sudah wanti-wanti kepadanya saat menyerahkan mukena itu. “Bu Mar, mukena ini belinya dari Tanah Suci lho, sewaktu kami umrah. Khusus untuk Bu Mar yang telah mengajak ibu-ibu majelis taklim memilih suami saya. Alhamdulillah suami saya menang. Simpan mukena ini baik-baik ya, sebagai lambang kemenangan kita, kemenangan rakyat daerah ini.”

Kini mukena itu hilang. Mukena lambang kemenangan rakyat itu raib tak berbekas. Suti tukang cucinya sudah kesana kemari mencari, tak juga menemukannya.

“Bu, bukankah Ibu bisa beli lagi yang lebih bagus dari mukena itu?” Suti tak dapat menyembunyikan keherana atas kegusaran majikannya itu.

Ingin rasanya Mardiyah meremas mulut si Suti. “Bodoh sekali kamu ini, Ti. Mukena itu simbol betapa dekatnya aku dengan Bu Wali. Orang nomor satu di daerah ini. Dan sekarang mukena itu hilang karena kecerobohan kamu... Dasar kamu tak berguna!” Darah tinggi Mardiyah sudah di ubun-ubun.

Sudah tiga malam tarawih mukena itu ia kenakan. Senang sekali hatinya ketika Bu Lurah, Teh Entin, Suminten dan ibu-ibu lainnya melirik mukenanya dengan pandangan iri. Kini, setelah mukena itu hilang, oh.. apa lagi yang dapat kubanggakan shalat tarawih nanti malam? gumamnya dengan sedih.

“Ini pasti ada yang iri kepadaku sehingga mencuri mukena itu,” Mardiyah bergelut dengan kecurigaan-kecurigaan. “Wajar kalau orang iri kedekatanku dengan Bu Wali. Dengan dekat Bu Wali aku mudah menitipkan anak dan keponakanku masuk PNS, walau statusnya hanya honorer,” demikian Mardiyah membatin tak henti-henti.

“Ini tak bisa didiamkan. Aku harus lapor polisi!” Mardiyah pun sampai pada sebuah keputusan.

Ia pun menelpon si Salim tukang ojek langganannya untuk mengantar ke kantor polsek terdekat.

Tak berapa lama, Salim pun tiba. Sepanjang jalan Mardiyah menjelaskan tujuannya meminta antar Salim ke kantor polsek.

“Wah, memang harus dilaporkan ini Bu,” tukas salim. “Tak bisa dibiarkan simbol kemenangan rakyat dicuri. Ini pelecehan terhadap demokrasi.” Entah si Salim sarapan apa tadi pagi hingga gaya bicaranya mirip politisi begini.

“Saya malah curiga, Bu, kalau ini ulah PKI,” kata Salim lagi.

“Haah! PKI...? Maksudmu, Lim?”

“Bu Mar jarang nonton berita sih. Ibu gak denger kalau PKI bangkit lagi?”

“Iya, tapi apa hubungannya dengan mukenaku yang hilang?”

“PKI itu anti agama Bu. Jadi benci dengan orang shalat. Mukena Bu Mar kan buat shalat, jelas ini perbuatan PKI yang ingin menghalang-halangi orang untuk beribadah. Apalagi Bu Mar dekat dengan para pejabat, PKI sangat benci pejabat.” Salim berbusa-busa menjelaskan tentang PKI kepada Mardiyah.

“Menurut saya, kita harus ke Kapolres Bu. Polsek terlalu rendah buat ngurusin hal-hal politik seperti ini.”

“Ya sudah, antar saya ke Kapolres, Lim,” Mardiyah yang sudah termakan teori konspirasi Salim akhirnya menyetujui anjuran Salim.

Salim pun mengerem motornya bermaksud balik arah ke jalan menuju kantor polres. Naas, ia tak menyadari datangnya sebuah truk pasir yang melaju kencang dari belakang. Dan.... Braaaaaak!!! Truk pasir tersebut menabraknya dari belakang.

***

Malam itu, Mardiyah tergolek di tempat tidurnya. Seluruh wajahnya lebam bekas tabrakan tadi siang. Bibirnya membengkak karena ketika terpental dari motor si Salim wajahnya sempat ‘mencium’ aspal jalan. Beruntung luka-lukanya tak begitu parah sehingga dokter RSUD membolehkannya pulang tak perlu dirawat.

Di kamar sebelah, Leha putrinya yang nomor dua tak henti-henti menangis. Sementara, Sumi anak pertama Mardiyah berusaha menenangkan Leha.

“Sudahlah Leha, Ibu toh tak apa-apa. Hanya shock dan luka-luka ringan...”

“Ini salah Leha, Mbak. Seharusnya Leha bilang kalau mukena itu Leha yang pinjam. Leha terburu-buru tadi jadi gak sempat bilang ke Ibu kalau mukena itu Leha bawa untuk acara buka bersama dengan teman-teman Leha....”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun