“Sandyakala Ning Majapahit” adalah novel drama karya Sanusi Pane. Novel ini berkisah tentang lakon kekisruhan di Kerajaan Majapahit akibat perang saudara tak berkesudahan. Sepeninggal Raja Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit dirundung pemberontakan pewaris-pewaris kerajaan. Dinasti Majapahit pun runtuh.
Akankah Partai Golkar yang berdiri semenjak 20 Oktober 1964 itu bernasib sama dengan Majapahit akibat perang saudara di dalamnya?
Sepanjang sejarah, ketua umum (Ketum) Partai Golkar hanya sekali menjabat. Sejak Djuhartono Ketum pertama, berlanjut ke S. Sukowati, Amir Murtono, Sudharmono, Wahono, Harmoko, Akbar Tandjung, hingga Jusuf Kalla; mereka hanya sekali menjabat ketua umum di partai beringin ini.
Dan semenjak dipimpin Aburizal Bakrie (ARB), Golkar membuat sejarah baru, Ketum bisa menjabat dua kali. Luar biasa hebat! Untuk itu mari kita teriakan yel-yel: Go ARB! ARB for Lapindo...!
Biasanya orang menjabat dua kali sebagai ketua karena prestasinya bagus. ARB, mau mencalonkan diri jadi presiden di 2014 aja batal. Karena namanya memang tak laku dijual untuk berkoalisi dengan parpol lain.
ARB-pun terpaksa “jual diri” ke Capres Prabowo Subianto. Gerbong partai pun ditarik untuk mendukung capres dari Partai Gerindra tersebut. Dari sini sudah mulai tercium aroma keretakan di internal Golkar, bahkan ada yang terang-terangan menolak intruksi ARB. Kader-kader yang membangkang itu lebih memilih pasangan Jokowi-JK, karena JK bagaimanapun juga adalah kader Golkar dan pernah menjabat sebagai ketua umum.
Perlawanan demi perlawanan pun dimulai dari pihak-pihak yang tidak suka dengan arah kebijakan ARB. Hanya di era ARB sajalah terjadi Partai Golkar bisa berkepala dua: Ada Golkar Ical, ada Golkar Agung Laksono. Di masa ARB pulalah terjadi saling gugat menggugat di tubuh Golkar, dari Pengadilan Negeri hingga PTUN. Hasilnya, Golkar semakin terpuruk, sehingga terjadi anti klimaks, Partai Golkar di awal tahun 2016 justru tanpa pengurus karena dibekukan Kemenkumham Yasona Laoly.
Para sesepuh dan generasi muda Golkar mendesak agar diadakan Munas di awal tahun 2016 ini, tapi ARB menolak. Bisa ditebak alasannya, dia takut terpental dari singgasana ketum. Dalam kondisi “sandyakala” ini, sebetulnya Golkar bisa diselamatkan jika ARB legawa mundur. Mungkin akan lebih baik kalau dia memfokuskan diri ngurusin lumpur Lapindo. Kalau kisruh terus, Kapan Golkar bekerja untuk rakyat?
Bila Golkar tak kunjung menemukan titik temu, partai lain pasti yang meraup keuntungan dalam pemilukada serentak. Suara Golkar yang selama ini punya basis masa di daerah akan digembosi. pecahan Golkar yang memiliki ideologi hampir sama seperti NasDem, Gerindra, dan Demokrat yang akan menampung pecahan suara itu.
Kini ARB tinggal menghitung waktu mewariskan jabatannya kepada ketua umum yang baru, yang terpilih dalam Munas Luar Biasa (Munaslub) di Bali. Akan tetapi ARB berkeinginan untuk terus berada dalam kepengurusan Golkar. Kemungkinan ARB akan didudukan pada jabatan Dewan Pembina Partai Golkar. Dalam struktur kepengurusan yang baru, termuat posisi dewan pembina, dewan kehormatan, dan dewan pakar.
Pertarungan merebut kursi ketum di arena Munaslub bukanlah hajat kader Partai Golkar semata, pemerintah juga berkepentingan. Tentu saja pemerintah sangat berkepentingan dengan Partai Golkat di parlemen. Setidaknya, kepentingan pemerintah itu bisa terlihat pada kepentingan yang berbeda antara Wapres Jusuf Kalla dengan Presiden Jokowi yang dalam hal ini diwakili Menkopolhukam Luhut Panjaitan.
Presiden Jokowi sepertinya lebih memilih Setya Novanto, sementara Wapres lebih memihak Ade Komaruddin.
Melalui Luhut, Presiden mengirim signal ke pemilik suara di Munaslub , yang langsung diterjemahkan oleh “panitia" dengan ide menyebut nama yang dimunculkan ketika usulan voting terbuka ditolak oleh semua calon, kecuali oleh Setya Novanto. Ide voting terbuka ini juga muncul setelah usul penentuan ketum secara aklamasi ditolak keras oleh calon-calon lainnya, kecuali oleh Setya Novanto juga.
Mengapa Presiden menginginkan Setya Novanto? Besar kemungkinan bahwa Presiden hendak mengurangi peran wapres yang masih terlalu besar dalam setiap pengambilan kebijakan strategis di pemerintah.
Jika memang Setya Novanto yang terpilih sebagai Ketua Umum pada Munaslub Partai Golkar kali ini, semoga saja dia tidak meminta: Papah Minta Bubarin Golkar ...
Ih... Kamu jahat....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H