Mohon tunggu...
Laura Irawati
Laura Irawati Mohon Tunggu... Direktur Piwku Kota Cilegon (www.piwku.com), CEO Jagur Communication (www.jagurtravel.com, www.jagurweb.com) -

Mother, with 4 kids. Just living is not enough... one must have sunshine, most persistent and urgent question is, 'What are you doing for others?' ;)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anakku Jadi Teroris

25 Januari 2016   21:11 Diperbarui: 25 Januari 2016   21:11 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita kembali saja pada aduan anak TK tadi. Anak itu ngotot mempertahankan kebenaran yang ia yakini benar. Dia berusaha mencari dukungan pembenaran atas pendapatnya itu. Sikap kita hanya geli, dan berupaya menjelaskan kepadanya dengan penuh kesabaran, bahwa 2+3 itu adalah 5, bukan 4.

Lantas bagaimana dengan anak sahabat saya yang meyakini kebenaran bahwa selain kelompoknya yang lain adalah kafir semua, dan orang kafir halal darahnya? Astaghfirullah al-Adhiim   

Saya pernah menulis di Kompasiana ini “Seputar Kontroversi, Aja Rumangsa Bener Dewe”, bahwa setiap individu memang memiliki persepsi berat sebelah dalam memaknai sebuah kebenaran. Kita sering membawa setumpuk keyakinan yang sebenarnya tidak memiliki pembenaran rasional. Kalaupun kita menemukan apa yang mungkin benar, atau yang paling mungkin benar dan di lingkungan mana kita bisa mengetahui dengan pasti apa yang benar, itu semua dikarenakan asumsi individu didisain untuk membuat individu dan komunalnya merasa nyaman.

Jika suatu pendapat bertentangan dengan pendapat kita dan kita menjadi terlibat secara emosi, hal ini menandakan bahwa secara tak sadar kita mengakui bahwa mungkin kita tidak memiliki pembenaran rasional atas pandangan kita itu. Kita sama sekali tak marah ketika anak kita yang baru TK ngotot bahwa 2+3 adalah 4 karena kita yakin bahwa dia salah dan kita memiliki pembenaran rasionalnya.

Akan tetapi, kalau kita sudah mulai merasa terlibat secara emosional dan merasa paling benar sendiri seperti anak sahabat saya itu, berhati-hatilah; barangkali keyakinan bahwa pendapat yang kita anggap paling benar itu sesungguhnya melampaui apa yang dibenarkan oleh bukti-bukti.

Sebuah cara untuk membersihkan dogma merasa paling benar sendiri itu adalah dengan mencoba memahami pendapat-pendapat yang dipertahankan di lingkungan yang berbeda dengan pendapat yang ada di sekitar kita. Contohnya, anda dapat menyatakan bahwa Gafatar itu sebuah kelompok sesat apabila anda betul-betul yakin dengan bukti-bukti tentang kesesatan yang dilakukan oleh kelompok itu. Bukan hanya didasari oleh asumsi orang banyak semata. Ingat, asumsi orang banyak didesain untuk kenyamanan pendapat orang banyak itu.

Saat anda menganggap bahwa mereka sesat, jangan-jangan anggapan yang sama juga ada di benak mereka tentang anda.   

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun