Kita kembali saja pada aduan anak TK tadi. Anak itu ngotot mempertahankan kebenaran yang ia yakini benar. Dia berusaha mencari dukungan pembenaran atas pendapatnya itu. Sikap kita hanya geli, dan berupaya menjelaskan kepadanya dengan penuh kesabaran, bahwa 2+3 itu adalah 5, bukan 4.
Lantas bagaimana dengan anak sahabat saya yang meyakini kebenaran bahwa selain kelompoknya yang lain adalah kafir semua, dan orang kafir halal darahnya? Astaghfirullah al-Adhiim
Saya pernah menulis di Kompasiana ini “Seputar Kontroversi, Aja Rumangsa Bener Dewe”, bahwa setiap individu memang memiliki persepsi berat sebelah dalam memaknai sebuah kebenaran. Kita sering membawa setumpuk keyakinan yang sebenarnya tidak memiliki pembenaran rasional. Kalaupun kita menemukan apa yang mungkin benar, atau yang paling mungkin benar dan di lingkungan mana kita bisa mengetahui dengan pasti apa yang benar, itu semua dikarenakan asumsi individu didisain untuk membuat individu dan komunalnya merasa nyaman.
Jika suatu pendapat bertentangan dengan pendapat kita dan kita menjadi terlibat secara emosi, hal ini menandakan bahwa secara tak sadar kita mengakui bahwa mungkin kita tidak memiliki pembenaran rasional atas pandangan kita itu. Kita sama sekali tak marah ketika anak kita yang baru TK ngotot bahwa 2+3 adalah 4 karena kita yakin bahwa dia salah dan kita memiliki pembenaran rasionalnya.
Akan tetapi, kalau kita sudah mulai merasa terlibat secara emosional dan merasa paling benar sendiri seperti anak sahabat saya itu, berhati-hatilah; barangkali keyakinan bahwa pendapat yang kita anggap paling benar itu sesungguhnya melampaui apa yang dibenarkan oleh bukti-bukti.
Sebuah cara untuk membersihkan dogma merasa paling benar sendiri itu adalah dengan mencoba memahami pendapat-pendapat yang dipertahankan di lingkungan yang berbeda dengan pendapat yang ada di sekitar kita. Contohnya, anda dapat menyatakan bahwa Gafatar itu sebuah kelompok sesat apabila anda betul-betul yakin dengan bukti-bukti tentang kesesatan yang dilakukan oleh kelompok itu. Bukan hanya didasari oleh asumsi orang banyak semata. Ingat, asumsi orang banyak didesain untuk kenyamanan pendapat orang banyak itu.
Saat anda menganggap bahwa mereka sesat, jangan-jangan anggapan yang sama juga ada di benak mereka tentang anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H