[caption caption="Kucing Yang Suka Ngehabul"][/caption]
Sebelumnya saya mohon maaf, kalau dianggap lancang mengirimkan surat ini kepada Mas.
Saya hanya merasa malu saja dengan tulisan-tulisan saya sebelumnya yang bawel meminta agar admin segera memverifikasi akun saya. Sementara Mas Jati yang telah tercatat sejak 10 Januari 2013 sampai hari ini masih belum terverifikasi dan gak pernah meributkannya. Tapi Mas tetap saja menulis. Bahkan sampai hari ini, 12 Oktober 2015, Mas Jati Kumoro tercatat sudah menulis 251 artikel di Kompasiana ini. Salut.
Bukan itu saja, selama 2 tahun lebih menulis di kompasiana Mas tak pernah mempermasalahkan artikel Mas yang tak pernah di-HL oleh admin, seperti dalam tulisan Mas “Tulisanku Tak Pernah HL Dan TA, Apalagi FA”. Bagi Mas semua itu hak prerogrativ admin selaku pengelola blog bersama ini.
Yang saya kagumi dalam tulisan di atas adalah sikap rendah hati Mas yang mau mengakui bahwa semua tulisan yang pernah ditayangkan memang tak layak ditempatkan di kolom HL, baik yang serius maupun yang bercanda. Mas memaklumi kebijakan admin dan mau sadar-diri akan kualitas dan isi tulisan Mas. Sikap yang harus saya tiru dari seorang Mas Jati: menulis itu mudah, tapi untuk sadar-diri tulisan tak layak itu yang susah.
Awalnya, saya memang miris membaca tulisan-tulisan habul Mas yang cendrung ‘kearah-arah sono’ (mohon dimaklumi karena saya seorang ibu dari 4 anak, saya tak bisa membayangkan bagaimana kalau ke-4 anak saya membaca tulisan habul Mas). Tapi setelah memahami niat baik Mas semata untuk membuat orang lain tertawa demi menyenangkannya, sebagai bentuk sedekah Mas, saya acungkan jempol untuk itu.
Sedekah Mas itu sangat bermanfaat karena telah menghibur kami semua. Maaf, semoga tidak berlebihan kalau saya mengutip sebuah hadits untuk kebaikan Mas Jati menghibur kami ini: “...Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Satu persatu saya baca tulisan Mas berikut komentar-komentar di bawahnya. Saya pun tersenyum geli. Semua komentar Mas jawab dengan humor menyenangkan. Penuh kehangatan dan keakraban. Tapi dibalik semua canda itu, saya menangkap sosok seorang begawan dalam diri Mas.
Saat Mas menulis “Manunggaling Kawulo-Gusti”, disitu Mas menulis: “... manunggaling kawulo-gusti ini bisa dipandang sebagai tingkatan tertinggi dalam olah spiritual manusia. Manusia yang mampu mengenal Tuhannya, adalah manusia yang mampu memahami untuk apa dia dilahirkan di dunia ini, dari mana dia berasal dan apa yang harus dilakukannya untuk bekal nanti kembali lagi kehadapan-Nya, dengan tetap menjalani hidup yang wajar sebagaimana mestinya. Hal ini seperti apa yang dilambangkan tokoh wayang Bima setelah berhasil menemukan dan mendapatkan wejangan dari Dewa Ruci, namun tetap menjalankan kewajiban hidupnya sebagai seorang satria, bukan beralih menjadi pendeta ...”
Saya banyak membaca tentang hal itu, tapi ketika membaca tulisan Mas yang sederhana ini saya justru terbawa untuk merenungi arti kehidupan ini secara mendalam. Dan, ketika ada yang komen karena pasti terkagum-kagum juga membaca tulisan Mas ini: “... ngangsu kawruh dumateng ndoro Sepuh.” Mas menjawab dengan humor sebagai bentuk kerendahhatian Mas: “ldadalah... Iki sopo yo...? Nom-noman koq arep ngangsu...? Mrene yo, Le. Kae timbane didandani ben iso nggo ngangsu banyu...”
Dan saat Kompasiana ini dihebohkan dengan soal apakah akun PK=GT, dimana Mas memang pernah menjalin suasana keakraban antara Mas dengan akun PK seperti diakui dalam “Aku dan Pakde Kartono”, bahkan secara guyon akun PK pernah menganggap Mas sebagai mahagurunya dengan 14 alasan, disitu Mas menulis: “ Bagaimana jika nantinya PK itu adalah Gayus Tambunan? Penulis tak kan risau , karena dengan sendirinya pertemanan kami akan berakhir sebab perjumpaan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Meski terasa pahit, tetapi itu akan menjadi sebuah kenangan yang tersendiri bagi penulis..” Saya terharu membacanya, Mas.