Pada bulan April 2015, di RW 09 Kelapa Gading, Jakarta Utara, terjadi sesuatu yang baru. Pembuatan “cluster” oleh pengurus RW diimplementasikan. Ratusan rumah ditutup portal, rangkap dengan pagar setinggi 3 meter, dan pintu keluar masuk orang dikunci. Hanya ada 2 jalan keluar masuk dan keluar yang diberikan oleh RW. Sisanya, 11 pintu keluar masuk ditutup.
Dok. Pri
Mengapa hal ini menjadi hal baru? Biasanya sistem cluster merupakan desain dari pemborong karena bentuk tanah yang dikelilingi sungai / bangunan tinggi. Ada juga beberapa kompleks elite yang membuat system cluster, walaupun ini menyalahi aturan. Biasanya berdasarkan kesepakatan warga yang ingin tampil eksklusif.
Yang berbeda dari warga RW09 Kelapa Gading, system cluster ini bukan kesepakatan warga. Warga sudah merasa nyaman tinggal dan membaur dengan lingkungan sekitar. Saat ditanya warga, para ketua RT menegaskan bahwa ini adalah perintah RW. Sebaliknya saat dikonfirmasi ke RW, dari RW menyatakan bahwa ini program dari RT yang disetujui oleh semua warga.
Berbagai protes berdatangan. Warga yang tidak memiliki kendaraan mulai mengeluh. Banyak juga warga yang sudah berusia lanjut atau cacat yang harus berjalan cukup jauh untuk keluar dari kompleks, terutama karena pintu untuk orang tidak pernah dibuka secara permanen.
Beberapa warga yang cukup vokal, sudah menghadap ketua RW 09 Kelapa Gading, Pak Johar Wira. Seorang warga dengan inisial J, sempat beragrumen dengan ketua RW, yang berujung pada ancaman pemukulan oleh ketua RW. Untungnya ketua RW sempat ditahan oleh security agar pemukulan tidak terjadi.
Beda lagi yang dialami oleh S dan Y, keduanya warga dari RW 09 Kelapa Gading yang sama. Saat mempertanyakan kejadian ini, Pak Johar Wira memaki dan menyebut bahwa dirinya lah yang berkuasa, sehingga dia adalah pembuat aturan di RW tersebut. Beliau juga menyatakan bahwa keputusan dari rapat RW merupakan hasil musyawarah yang tidak dapat diganggu gugat.
Tidak puas sampai di situ, S dan Y menghadap Lurah Kelapa Gading Timur, bersama 4 orang warga lainnya. Lurah Kelapa Gading Timur, Pak Tulus Harjo, menyatakan bahwa yang dilakukan ketua RW 09 melanggar hukum, yaitu, Perda 12 / 2013 pasal 53c, bahwa “setiap orang tanpa izin Kepala Dinas Perhubungan, dilarang.... membuat atau memasang pintu penutup jalan dan portal”. Sayangnya saat keenam orang warga tersebut melakukan konfirmasi ulang kepada Pak Johar Wira, terjadi ancaman implisit bahwa segala proses administrasi RW akan dipersulit jika terjadi protes atas sistem cluster yang dibuat.
Warga yang tidak puas akhirnya beberapa kali menghadap Lurah Kelapa Gading Timur dengan menandatangani ketidaksetujuan system cluster. Selain menyulitkan, penutupan pintu orang membuat fleksibilitas warga terganggu dan mengganggu efisiensi perjalanan masing-masing orang.
Saat diwawancara, Bu Gina Alwidin, ketua RT 15 juga membenarkan bahwa sebenarnya tidak semua ketua RT setuju dengan hal ini. Sistem cluster jadi-jadian ini merupakan perintah dari ketua RW.
Beberapa tukang sampah, tukang loak, tukang sayur, dan pedagang keliling mulai kesulitan. Aji, seorang tukang sayur yang biasa berkeliling di RW 09 menyatakan bahwa usahanya makin sulit. Belum lagi untuk masuk ke dalam cluster, dia diwajibkan membayar Rp 35,000 oleh pos security di bagian depan. Di sini banyak muncul pertanyaan, apakah memang premanisasi terselubung inilah yang menjadi tujuan akhir system cluster.
Beda lagi dengan Hendro, salah satu personel security di RW 09 Kelapa Gading. Pak Hendro mengalami dilema, karena beliau tahu bahwa warga lah memberikan gaji untuk security. Tetapi instruksi dari ketua RW 09 sulit untuk dipertanyakan. Kekhawatiran beliau lebih ke arah pengurangan jumlah personel security. Menurut dia, keputusan Pak Johar Wira sangat tidak bijak. Jumlah pintu adalah 11 orang, sedangkan security ada hampir 30 orang. Sangat menyulitkan warga kalau ratusan orang warga hanya boleh keluar dari satu pintu.
Pak Tomo, pejabat dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan juga angkat bicara dalam kasus ini. Menurut beliau, system cluster yang sudah banyak diterapkan di kompleks perumahan inilah salah satu yang membuat jalan raya macet. Jika tadinya arus kendaraan dapat disebar ke beberapa jalan, dengan system cluster, arus kendaraan jadi tersentralisasi di beberapa ruas jalan saja. Banyak system cluster di Kelapa Gading tidak berizin dan menyalahi aturan. Ini seharusnya dibongkar agar ruas jalan utama tidak terlalu macet.
Beberapa warga senior seperti Pak Budiyasa dan Pak Edward yang sudah tinggal cukup lama di RW tersebut, juga menyesalkan tindakan dari RW yang sepihak. Beberapa warga yang tinggal cukup lama ini tidak puas karena beberapa warga menjadi "anak emas" karena dapat membeli kunci untuk jalan orang ke security. Ditambah lagi, banyak tamu yang merasa kesal karena kartu hilang mendapat denda Rp 50,000 seperti di gedung parkir kantoran. Dari sisi tanggung jawab, ternyata security masih angkat tangan jika ada kehilangan / kerusakan kendaraan. "Menurut saya, percuma saja, membuat segala sesuatu makin komplek. Beberapa warga yang dekat dengan RW dan security mendapat pengecualian aturan. Aneh saja kalau sudah pakai kartu tapi masih angkat tangan atas kehilangan..." Berikut penuturan Bu Lina, salah satu warga senior juga di RW 09 Kelapa Gading.
Belakangan ini, juga muncul pertanyaan baru mengenai sistem tender untuk pembangunan pagar dan pos satpam terkait dengan pembangunan cluster tersebut. Bukan hanya itu, ada pertanyaan juga mengenai fasilitas pelengkapnya seperti portal, pembuatan kartu. Banyak warga yang mempertanyakan apakah penggunaan dana warga tersebut menggunakan system tender yang benar, atau memang "ada udang di balik batu", sehingga terkesan dari RW memaksakan projek ini.
Apakah pemerintah setempat akan mengambil tindakan mengenai hal ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H