Â
          Â
Birokrasi merupakan tulang punggung administrasi publik dan memiliki peran vital dalam membentuk karakter suatu negara. Namun, perhatian terhadap persoalan etika dan perilaku birokrat belakangan ini semakin meningkat di berbagai kalangan. Peningkatan perhatian ini disebabkan oleh maraknya fenomena yang mencerminkan buruknya etika dan perilaku birokrat dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai pelayan publik.Â
Meningkatnya kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang (abuse of power), dan berbagai penyimpangan perilaku di berbagai tingkat pemerintahan, baik pusat maupun daerah, menunjukkan bahwa etika dan perilaku aparat pemerintah hingga saat ini memerlukan penataan. Padahal masyarakat mengharapkan suatu idealisme etika akan kejujuran, transparansi, dan integritas yang tinggi.Â
Lantas sesungguhnya sebelum membahas lebih dalam, apa yang dimaksud dengan etika birokrasi? Menurut Dwiyanto dalam Fitri et al., (2022) etika birokrasi, dalam konteksnya, merupakan seperangkat norma yang memberikan pedoman bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat. Prinsip utama etika birokrasi adalah menjadikan kepentingan publik sebagai prioritas utama, mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau organisasi. Etika ini harus terwujud dalam setiap kebijakan yang diambil, dengan mengutamakan kepentingan masyarakat secara menyeluruh.
    Kemudian teori etika birokrasi Darwin 1999 menjelaskan bahwa etika birokrasi dapat diartikan sebagai serangkaian nilai yang dapat menjadi pedoman atau arahan untuk tindakan manusia dalam suatu organisasi. Dari perspektif Darwin, dapat disimpulkan bahwa etika memiliki dua peran utama, yakni sebagai pedoman dan rujukan bagi administrasi negara, yakni birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Hal ini membantu menetapkan standar penilaian terhadap sifat, perilaku, dan perlakuan birokrasi publik, apakah dianggap baik, buruk, tidak tercela, atau terpuji. Kedua, sejumlah nilai dalam etika birokrasi menjadi acuan bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Nilai-nilai tersebut mencakup efisiensi, pemisahan antara urusan pribadi dan pekerjaan, impersonalitas, sistem meritokrasi (merytal  system), tanggung jawab, akuntabilitas, dan responsivitas (Hapsari, 2022).
    Dalam kerangka administrasi publik, etika merujuk pada nilai-nilai yang mengatur perilaku  pemerintah/birokrasi  dalam melaksanakan tugasnya. Relevansi etika birokrasi tidak hanya sebatas panduan moral. Etika berperan penting dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang berkuasa. Dengan menerapkan prinsip-prinsip etika, administrasi publik dapat menciptakan lingkungan yang transparan dan akuntabel. Lalu, etika juga menjadi fondasi dalam menciptakan administrasi publik yang efektif, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Etika administrasi publik menjadi instrumen utama dalam membangun tata kelola yang baik (good governance), dimana kepentingan masyarakat diutamakan dan menjaga nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan kebijakan.
     Namun dalam praktiknya, seringkali etika birokrasi dihadapkan pada tantangan yang menguji antara konsistensi idealisme dan realitas. Munculnya inkonsisten etika dalam berbagai kasus menunjukkan adanya kesenjangan yang memerlukan penelusuran lebih lanjut. Dengan kritis melihat kenyataan di lapangan, selanjutnya akan menyusuri dan menguraikan kompleksitas etika birokrasi di Indonesia dengan fokus pada kesenjangan antara idealisme yang diinginkan dan realitas pelaksanaan. Harapannya melalui tulisan ini, mengajak pembaca untuk mendorong pembaruan yang diperlukan dalam sistem birokrasi Indonesia guna meminimalkan kesenjangan antara idealisme dan realitas, serta merangsang pemikiran kritis terhadap perbaikan etika di dalam struktur administrasi publik.
A. Idealisme dalam Etika Birokrasi
   Idealisme dalam etika birokrasi mencerminkan aspirasi, nilai, dan norma yang semestinya  dijadikan pedoman dalam setiap tindakan dan keputusan aparatur pemerintah. Idealnya para aparatur pemerintah  menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan individu atau kolektif, dan mengedepankan integritas, transparansi, dan keadilan di setiap langkah administratif. Idealisme etika birokrasi mengharapkan  para pemangku jabatan mengedepankan nilai-nilai etika, kebijakan dan tindakan mereka mencerminkan komitmen mereka terhadap kemaslahatan masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Ismail (2021) menyatakan kehadiran birokrasi yang beretika sangat diperlukan dalam konteks saat ini, dimana tren pembangunan berada pada era yang mengedepankan materialisme sehingga perilaku etis para pejabat menjadi suatu urgensitas dalam kondisi sekarang.Â
  Sesungguhnya penerapan etika birokrasi yang ideal bukan tanpa alasan, melainkan didasarkan atas sebuah tujuan. Etika birokrasi idealis bertujuan untuk menciptakan ekosistem di mana keputusan administratif berdasarkan pada pertimbangan etika yang kuat. Hal ini menyiratkan keinginan untuk menempatkan keadilan di atas pertimbangan pribadi, untuk memastikan bahwa sumber daya publik dikelola secara efektif dan bahwa pelayanan publik diarahkan pada kebaikan bersama. Idealisme etika birokrasi mengajarkan bahwa integritas merupakan kunci utama dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memperkuat legitimasi lembaga administratif. Walaupun idealisme etika birokrasi memberikan perspektif yang sangat didambakan terkait tata kelola publik, tetapi tantangannya terletak pada praktik pelaksanaannya di lapangan. Kesenjangan atau gap antara harapan etika birokrasi yang ideal dan pelaksanaanya seringkali menimbulkan dilema etika dan mempertanyakan integritas  birokrasi. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa memahami bagaimana harapan etika birokrasi dapat diwujudkan dalam praktik merupakan kunci dalam membangun administrasi publik yang beretika dan dapat dipercaya.
B. Realitas Pelaksanaan Etika Birokrasi di Indonesia
   Realitas pelaksanaan etika birokrasi di Indonesia seringkali disoroti oleh adanya patologi birokrasi yang menjangkit, ini menggambarkan ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip etika yang seharusnya menjadi landasan bagi aparat pemerintahan. Risman Umar dalam Ulhak (2017) menyatakan patologi birokrasi sebagai sebuah  gangguan atau perilaku birokrasi yang melenceng dari nilai-nilai etika, aturan, dan perundang-undangan, serta norma-norma yang berlaku dalam lingkungan birokrasi. Kemudian dalam ilmu Administrasi Publik, istilah patologi sering dipakai untuk menggambarkan beragam praktik penyimpangan dalam sistem birokrasi. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem administrasi publik menjadi salah satu faktor utama munculnya patologi birokrasi. Keputusan-keputusan yang tidak didasarkan pada pertimbangan publik dan kebijakan yang tidak bersifat obyektif seringkali merugikan masyarakat serta mengakibatkan kepercayaan terhadap lembaga pemerintahan semakin menurun.
   Seperti yang sudah dijelaskan pada subjudul sebelumnya bahwa idealisme etika birokrasi menitikberatkan kepatuhan atau kesesuaian pada prosedur. Namun realitasnya, terdapat kecenderungan fenomena patronase, di mana muncul pola hubungan saling menguntungkan yang disebut sebagai simbiosis mutualisme. Dalam birokrasi pemerintahan Indonesia, adanya simbiosis mutualisme dapat menghasilkan hubungan atau relasi kekeluargaan di dalam struktur pemerintahan. Kondisi ini mengabaikan kualitas dan profesionalisme sehingga suatu jabatan atau posisi tidak sepenuhnya diisi oleh individu yang memiliki kualifikasi terbaik, melainkan oleh mereka yang memiliki hubungan meskipun mungkin kurang memiliki kemampuan yang sesuai. Fenomena patronase ini sejalan dengan salah satu bentuk patologi birokrasi yang disampaikan oleh Siagian (1994), yakni dilihat dari sudut pandang perilaku birokrasi, mencerminkan bahwa patologi sebagai entitas yang memiliki kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan, birokrasi memiliki wewenang yang relatif tinggi dan rentan terhadap kecenderungan untuk menguntungkan diri dan kelompoknya.
   Adanya fenomena patronase tentu dapat menciptakan lingkungan birokrasi yang rentan terhadap perilaku tidak etis seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang  memberikan dampak signifikan terhadap integritas tata kelola pemerintahan di Indonesia. Misalnya saja praktik korupsi, Indonesia masuk ke dalam 5 negara terbesar kasus korupsi di Asia Tenggara (Transparency International, 2022). Kemudian menurut data tren kasus korupsi di Indonesia tahun 2022 yang diselidiki oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 1.396 tersangka korupsi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 506 individu atau sekitar 36% dari total tersangka teridentifikasi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), dengan mayoritas di antaranya menjalankan tugasnya di lingkungan pemerintah daerah (Humas KASN, 2023). Realitas yang tidak sesuai dengan etika birokrasi ini, menunjukkan bahwasanya aparatur pemerintah tidak mengalami perkembangan yang positif, sehingga birokrat hanya melayani kepentingan pribadi yang menyebabkan pengabaian terhadap kepentingan publik. Hal ini menyoroti perlunya tindakan serius untuk melakukan reformasi birokrasi yang mendalam dengan fokus pada penguatan nilai-nilai etika, memperkuat pengawasan, dan meningkatkan transparansi guna mengatasi akar permasalahan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap integritas lembaga pemerintahan.
C. Strategi Penguatan Etika Birokrasi
   Penguatan kode etik menjadi langkah strategis dalam upaya perbaikan etika dan pola perilaku birokrat. Kode etik memberikan pedoman yang konsisten bagi birokrat dalam menjalankan tugasnya (Sedarmayanti, 2012). Sesungguhnya mengenai kode etik sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, tetapi apabila kode etik bukan hanya dimaknai sebagai panduan formal saja tidak akan memberikan signifikansi terhadap etika birokrasi. Untuk itu, perlu penguatan kode etik sebagai alat untuk menggugah kesadaran dan tanggung jawab moral para birokrat. Melalui proses internalisasi nilai-nilai etika yang terdapat dalam kode etik, diharapkan birokrat dapat menginternalisasi integritas dan moralitas sebagai bagian integral dari identitas dan perilaku profesional mereka. Selanjutnya, upaya penguatan kode etik perlu diiringi dengan pelatihan dan pendidikan etika  yang mendalam terkait dengan implementasi kode etik. Adanya pendidikan dan pelatihan guna mengarahkan proses evaluasi terhadap permasalahan atau kejadian tidak hanya dalam bentuk eksplisit dan responsif, melainkan juga melibatkan peningkatan kesadaran moral yang berakar pada tingkat dasar dan menciptakan perubahan budaya dan mindset birokrat.
   Peningkatan pengawasan oleh lembaga pemerintah juga menjadi upaya untuk membangun birokrasi yang bersih dan akuntabel. Pengawasan di sini tidak hanya berarti penegakan peraturan, tetapi juga mencakup peningkatan kapasitas dan independensi badan pengawas. Pemberian otonomi yang cukup kepada badan pengawas akan menjamin proses pengawasan dilakukan secara obyektif dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik .Oleh karena itu, penguatan pengawasan tidak hanya sekedar upaya pengendalian, tetapi sebagai upaya preventif yang akan menciptakan budaya etis yang kuat di kalangan birokrat.  Kemudian yang tidak kalah penting sebagai strategi penguatan etika birokrasi adalah peningkatan transparansi dan akuntabilitas. Melalui prinsip keterbukaan, menciptakan ruang bagi partisipasi publik yang lebih aktif, serta masyarakat dapat mengawasi dan menilai setiap tindakan birokrat.  Adanya akuntabilitas memberikan beban moral kepada birokrat untuk lebih bertanggung jawab, yang kemudian semuanya ini akan memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan menciptakan lingkungan yang mendukung upaya  perubahan perilaku birokrasi ke arah pola yang lebih profesional dan bermoral.
Etika birokrasi memiliki peran krusial dalam membentuk karakter suatu negara dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Meskipun idealisme etika birokrasi mengedepankan kepentingan publik, integritas, dan transparansi yang menjadi harapan bagi masyarakat luas, tetapi realitas pelaksanaannya di Indonesia seringkali diwarnai oleh patologi birokrasi yang terjangkit, seperti fenomena patronase dan kasus korupsi. Strategi penguatan etika birokrasi melalui penguatan kode etik, pendidikan dan pelatihan etika, pengawasan yang independen, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan antara idealisme dan praktiknya. Dengan demikian, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan menjaga kesehatan institusi pemerintah diperlukan reformasi birokrasi yang mendalam dan berkelanjutan guna membangun administrasi publik yang bersih, akuntabel, dan responsif, sehingga dapat integritas lembaga pemerintahan.
Referensi
Fitri, F., Razak, A. R., & Mone, A. (2022). Etika Birokrasi Di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kabupaten Bone. Kajian Ilmiah Mahasiswa Administrasi Publik (KIMAP), 3(1), 95--109.
Hapsari, N. H. A. (2022). Dampak Penyalahgunaan Mobil Dinas oleh Oknum ASN dari Perspektif Etika Birokrasi Darwin 1999. JURNAL SOSIAL Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 23(1), 16--19.
Humas KASN. (2023). KASN Temukan Titik-titik Rawan ASN Terlibat Korupsi pada Pemilu dan Pilkada 2024. https://www.kasn.go.id/id/publikasi/kasn-temukan-titik-titik-rawan-asn-terlibat-korupsi-pada-pemilu-dan-pilkada-2024
Ismail, A. M. I. (2021). PENERAPAN ETIKA ADMNISTRASI PUBLIK MELALUI PELAKSANAAN TUGAS PELAYANAN BIROKRAT. Meraja Journal, 4(3), 3--19.
Sedarmayanti, S. H. (2012). Strategi Penguatan Etika dan Integritas Birokrasi Dalam Rangka Pencegahan Korupsi Guna Meningkatkan Kualitas Pelayanan. Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu Dan Praktek Administrasi, 9(3), 5.
Transparency International. (2022). CORRUPTION PERCEPTIONS INDEX. Transparency.org. https://www.transparency.org/en/cpi/2022
Ulhak, Z. (2017). Pencegahan Patologi Birokrasi Melalui Reformasi Administrasi Pelayanan Publik. Jurnal Ilmiah Administrasi Negara, 14(3).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H