Mohon tunggu...
Laura Aryani
Laura Aryani Mohon Tunggu... -

Murid dari sekolah kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Quick Count sebagai dukun baru ?

11 Juli 2014   01:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:43 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membahas politik tidak ada habisnya. Kekuasaan itu manis (mungkin ya ?). Melihat pro kontra tentang Quick Count membuat masyarakat bingung. Ketika Lembaga survey mengeluarkan hasil Quick Count sebenarnya positif untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Kata MERAMALKAN mungkin perlu ditulis capital, bold, italic dan font yang lebih besar. Karena sesungguhnya ramalan itu hanyalah PERKIRAAN terhadap sesuatu yang belum diketahui. Ramalan itu tidak lebih hanya sekedar menduga-duga, tidak lebih. Makanya ketika seorang dukun meramalkan terjadinya sesuatu sebagian orang percaya dan sebagian tidak percaya, dan itu tergantung keimanan orang tersebut terhadap dukun. Orang yang percaya dukun akan mati-matian meyakini bahwa yang diucapkan oleh dukun itu sebuah kebenaran. Bahkan jika tidak sesuai akan dicarikan proses penyesuaian atau paling tidak alasan mengapa tidak sesuai. Sebaliknya orang yang tidak percaya dukun akan bilang kebetulan jika ramalan dukun sama dengan kejadian.

Pada era modern, dukun digantikan dengan metode dan alat yang lebih canggih. Ada ramalan cuaca dengan mendasarkan pada besar dan arah angina, kelembaban udara serta trend cuaca/iklim dari waktu sebelumnya dan daerah sekitarnya serta beberapa faktor lain.

Survey, Exit Poll, Quick Count dan kawan-kawannya digunakan untuk meramalkan akan menjadi atau gagal seorang calon pada kontestasi pilkada, pileg dan pilpres. Orang yang sangat mengimani Survey, Exit Poll dan Quick Count akan membela mati-matian hasil itu dan mengatakan bahwa itu adalah kebenaran. Sebaliknya yang tidak percaya terhadap ketiga benda magis itu akan mengatakan bahwa Survey, Exit Poll dan Quick Count (SEQ) tidak bisa dipercaya. Tingkat keyakinan atau keimanan terhadap metode, alat yang dipakai menentukan derajat keimanan seseorang kepada SEQ .

Tetapi, setelah melihat gejolak yang ada ternyata ada pola baru dalam melihat SEQ. Cara pandang yang digunakan adalah jika SEQ menguntungkan dirinya maka dipakailah dengan segala dalil, sebaliknya jika merugikan akan ditolak dengan segala daya. Jadi keimanan terhadap SEQ bukanlah keimanan murni tetapi keimanan terhadap kepentingan dirinya. Manusia pragmatis bahkan cenderung hanya mencari keuntungan diri sendiri dari suatu peristiwa memang layak dikutuk oleh zaman. Karena perbuatannya lingkungan sekitar ikut-ikut resah.

Seharusnya persatuan nasional dijaga dengan baik, jangan sampai hanya karena kepentingan sesaat terhadap syahwat kekuasaan menjadikan kita seluruh bangsa menjadi tidak nyaman bahkan cenderung terpecah belah.Karena itu setiap keadaan yang tidak menguntungkan situasi bangsa dan rakyat mesti dilawan. Jangan mau kita menjadi permainan elit politik.

Sejarah Quick count pernah ternoda dengan klaim Megawati yang menang tipis terhadap SBY pada tahun 2009 http://m.detik.com/news/read/2004/09/20/171525/210615/10/mega-menang-tipis-atas-sby?nd771104bcj

Yang kenyataannya dalam QC oleh lembaga lain SBY dinyatakan unggul lebih dari 60%. Begitu juga ketika perhitungan untuk beberapa kepala daerah seperti Jawa Barat, bahkan ada media yang melacurkan diri demi kekuasaan http://pemilu.tempo.co/read/news/2013/02/24/078463394/Hasil-Real-Count-KPU-Rieke-Teten-Unggul-47-Persen

Dan ada benang merah dari dua peristiwa ini ialah partai pengusung calon. Apakah memang sudah menjadi modus bagi partai tersebut untuk mengakali rakyat dengan QC, RC dan kawan2 ? inikah dukun baru itu ?

Akankah sejarah berulang, klaim Quick Count itu hanya sekedar alat pemuas dan legitimasi bahwa rakyat mendukungnya ? marilah kita lebih arif dengan menunggu tanggal 22 saat KPU menyatakan siapa pemenang sebenarnya dari pertarungan pilpres ini.

Siapapun yang terpilih itulah presiden kita, tanpa perlu kita menghujat dan meledek atau mengeluarkan perkataan2 yang hanya untuk menutupi rasa tidak pede bahwa belum tentu calon yang kita dukung adalah pemenangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun