Mohon tunggu...
Laudza Prasetyo
Laudza Prasetyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo, saya adalah mahasiswa di salah satu PTKIN di Jawa Timur.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

From Heartbreak to Heart Attack: Exploring the Psychological and Biological Connection in CVD

22 September 2024   18:24 Diperbarui: 22 September 2024   18:28 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horizon Health News

From Heartbreak to Heart Attack: Exploring the Psychological and Biological Connection in CVD

Hubungan antara kesehatan mental dan fisik telah lama menjadi topik yang menarik bagi para ahli di berbagai bidang medis. Artikel "From Heartbreak to Heart Disease: A Narrative Review on Depression as an Adjunct to Cardiovascular Disease" yang ditulis oleh Jahanzeb Malik, Hamid Sharif Khan, Faizan Younus, dan Muhammad Shoaib (2021) mengeksplorasi dengan mendalam keterkaitan antara depresi dan penyakit kardiovaskular (CVD). Depresi, yang seringkali dianggap sebagai masalah psikologis, ternyata memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan jantung. Seiring dengan meningkatnya prevalensi depresi dan CVD di seluruh dunia, memahami hubungan antara kedua kondisi ini menjadi sangat penting.

Menurut artikel ini, prevalensi depresi pada pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD) berkisar antara 15-20%, sementara pada pasien dengan gagal jantung dekompensasi, prevalensi ini melonjak hingga 36%. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa depresi bukanlah sekadar masalah psikologis yang berdiri sendiri, melainkan faktor risiko serius yang memperburuk kondisi jantung. Sebuah meta-analisis juga menunjukkan bahwa orang dengan gangguan kecemasan memiliki peningkatan risiko CVD sebesar 26%. Fakta ini menegaskan bahwa pasien dengan depresi tidak hanya berisiko lebih tinggi mengalami masalah jantung, tetapi juga menghadapi prognosis yang lebih buruk.

Penelitian ini menekankan pentingnya deteksi dini dan manajemen depresi pada pasien CVD untuk mencegah meningkatnya risiko mortalitas dan morbiditas. Dengan tingginya prevalensi depresi di kalangan pasien CVD, upaya penanganan yang lebih efektif menjadi sangat krusial. Artikel ini juga mengkaji mekanisme patofisiologis yang mungkin mendasari hubungan antara depresi dan CVD, termasuk peran inflamasi kronis dan disfungsi trombosit. Ini memberikan wawasan baru tentang bagaimana proses biologis dalam tubuh dapat diperparah oleh kondisi mental, yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan jantung.

Depresi, yang dialami oleh lebih dari 16,6% populasi di negara-negara maju, tidak hanya berhubungan dengan kualitas hidup yang menurun tetapi juga meningkatkan risiko infark miokard dan gagal jantung. Oleh karena itu, penting untuk menyoroti bagaimana penanganan komprehensif terhadap depresi dapat memberikan dampak signifikan pada kesehatan kardiovaskular.

***

Dalam artikel "From Heartbreak to Heart Disease," Jahanzeb Malik dan rekan-rekannya membahas secara rinci mekanisme biologis yang menghubungkan depresi dengan penyakit kardiovaskular (CVD). Salah satu teori utama yang mereka angkat adalah teori inflamasi, di mana depresi memicu peningkatan kadar penanda inflamasi seperti protein C-reaktif (CRP) dan interleukin-6. Penanda ini berperan penting dalam proses aterosklerosis, yaitu penumpukan plak di arteri yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan berisiko mengakibatkan infark miokard. Sebuah studi dari Czech Republic yang melibatkan 6.126 partisipan menunjukkan bahwa individu dengan gejala depresi memiliki konsentrasi CRP yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak mengalami depresi. Hubungan ini diperkuat dengan temuan serupa dalam studi populasi di Finlandia yang mengaitkan depresi dengan peningkatan CRP secara signifikan (p < 0.001).

Selain inflamasi, artikel ini juga mengkaji peran aktivasi trombosit pada pasien depresi. Trombosit, yang berfungsi dalam proses pembekuan darah, dapat menjadi lebih reaktif pada pasien dengan depresi, sehingga mempercepat pembentukan plak aterosklerotik. Aktivasi trombosit ini menciptakan agregat trombosit-leukosit, yang memperburuk penyempitan pembuluh darah. Studi in vitro menemukan bahwa trombosit pada pasien depresi lebih responsif terhadap adenosin difosfat, zat yang memicu agregasi trombosit. Aktivasi trombosit ini pada akhirnya dapat meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular akut seperti serangan jantung. Salah satu studi yang diulas dalam artikel ini mengamati peningkatan aktivitas trombosit pada pasien depresi, dengan hasil yang menunjukkan bahwa mereka memiliki lebih banyak agregat trombosit dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami depresi (p < 0.001).

Lebih jauh lagi, artikel ini menjelaskan bahwa respons kronotropik jantung atau variabilitas denyut jantung (HRV) pada pasien depresi cenderung menurun. HRV adalah ukuran variabilitas interval antara detak jantung dan berfungsi sebagai indikator kesehatan sistem saraf otonom. Penurunan HRV dikaitkan dengan peningkatan risiko mortalitas pada pasien dengan penyakit jantung. Dalam sebuah studi besar yang diikuti oleh lebih dari 2.299 partisipan, ditemukan bahwa pria dengan depresi memiliki HRV yang lebih rendah, yang berkontribusi pada peningkatan risiko kejadian kardiovaskular. Hal ini mengindikasikan bahwa HRV yang rendah dapat menjadi mekanisme melalui mana depresi memperburuk hasil kardiovaskular pada pasien CVD. Temuan ini dikonfirmasi oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa pasien depresi pasca-infark miokard memiliki HRV yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien tanpa depresi.

Artikel ini juga membahas berbagai modalitas pengobatan untuk mengatasi depresi pada pasien dengan CVD. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti citalopram dan paroxetine disebut sebagai pengobatan yang aman dan efektif dalam mengurangi gejala depresi pada pasien CVD. Dalam sebuah studi yang melibatkan 240 pasien pasca-infark miokard, terapi SSRI terbukti mampu mencegah perkembangan gejala depresi. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami dampak SSRIs terhadap hasil kardiovaskular. Selain pengobatan farmakologis, terapi perilaku-kognitif juga dianggap efektif dalam mengatasi gejala depresi, meskipun dampaknya pada parameter kardiovaskular seperti CRP dan kortisol masih belum jelas. Sebuah studi menunjukkan bahwa terapi perilaku-kognitif mampu mengurangi kejadian infark miokard hingga 41%, meskipun fokus utama terapi ini adalah manajemen stres.

Kontribusi penting dari penelitian ini adalah penekanan pada pentingnya deteksi dini dan manajemen proaktif terhadap depresi pada pasien CVD. Mengingat prevalensi depresi yang tinggi di kalangan pasien dengan CVD, upaya ini dapat membantu mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat kejadian kardiovaskular. Artikel ini juga membuka ruang bagi penelitian lebih lanjut tentang bagaimana pengobatan depresi dapat secara langsung mempengaruhi hasil kardiovaskular. Dengan bukti bahwa depresi memengaruhi proses biologis penting seperti inflamasi dan fungsi trombosit, peneliti dan praktisi medis perlu menggabungkan pendekatan psikologis dan medis untuk memastikan hasil yang lebih baik bagi pasien dengan CVD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun