Pencemaran sungai dari sampah masih menjadi perantara penting untuk perpindahan sampah dari darat menuju kelautan sampai kembali lagi kelautan. Begitulah siklus hidup sampah yang kita produksi. Kementrian LHK memaparkan 59% sungai di Indonesia tercemar berat. Sampah plastik yang mencemari sungai dan berakhir di lautan sekitar 12,7 juta metric ton, sumber pencemaran ini berasal dari limbah industri dan rumah tangga. Fasilitas penampungan sampah sementara dan pendidikan lingkungan hidup yang tidak difasilitasi oleh pemerinntah yang menjadi penyebabnya, seolah kebiasaan membuang sampah ke sungai sudah menjadi budaya masyarakat yang tinggal di bantaran sungai.
Wajar saja sungai menjadi salahsatu lokasi paling tercemar sebelum laut. Bahkan sungai di Indonesia menjadi sungai terkotor di dunia, yang dinobatkan oleh World Bank. Peran penting pemerintah juga tidak terlaksana yaitu menyediakan tempat pengolahan sampah danatau penampungan sampah untuk limbah rumah tangga juga limbah indutri. Pemerintah telah menerapkan kebijakan tentang larangan membuang sampah ke sungai, dalam penerapannya belum berjalan maksimal, sehingga 46% sungai di Indonesia masih tercemar limbah berbahaya.
Dari 100% timbulan sampah plastic di Indonesia, 69% dilakukan landfill, 24% ke laut, dan 7% didaur ulang. Dari data yang disebutkan oleh KLHK, data tersebut merupakan ulah produsen yang tidak bertanggung jawab atas sampah yang sudah diproduksinya. Yang menjadikan masyarakat sebagai penyebab banyaknya sampah yang tidak dapat di olah. Padahal, juka pemerintah dan produsen memberikan edukasi untuk pengolahan sampah mulai dari memilah dan membuangnya sesuai jenis sampah tersebut, juga menyediakan tempat penampungan sampah khusus yang sudah termanajemen oleh produsen, maka kendala persampahan dapat teratasi. Penanganan sampah plastik di Indonesia juga tidak akan maksimal tanpa adanya dukungan dari produsen AMDK.
Industri AMDK harus ikut mendukung edukasi ke masyarakat mengenai pentingnya pengelolahan sampah dan dampak lingkungannya. Selain itu industri AMDK juga harus berani menarik kembali sampahnya untuk dikelola dan atau didaur ulang sebagaimana mengacu pada UU. No. 18, tahun 2008 pasal 14 dan pasal 15. Ini menggambarkan bahwa produsen sudah abai pada kewajibannya didalam UU.
Timbulan sampah plaastik yang digambarkan oleh data KLHK, dapat menyebabkan ppolusi udara dari sampah-sampah yang dibakar, dari sisa pembakaarannya terkena air dapat merusak tanah dan air tanah disekitarnya, asap pembakaran juga mengandung bahan kimia yang ikut terbang dan terhirup oleh manusia, yang menyebabkan penyakit pernafasan. Apabila di larungkan ke sungai yang kemudian kelaut, maka bahan kimia yang terkadungnya akan luruh dan terkonsusmsi oleh biota air lainnya, yang kemudian mati atau dikonsumsi oleh manusia.
Walaupun demikian dengan banyaknya sampah plastic yang timbul terutama AMDK, produsen memperparah kondisi ini dengan mengeluarkan produk galon sekali pakai. Galon sekali pakai yang diciptakan oleh produsen memperparah keadaan persampahan, karena timbulan sampah yang ada adalah sampah yang mayoritas kemasan air minum sekali pakai, yang ukurannya kecil, namun danya kemasan gallon sekali pakai, maka volum sampah yang timbul akan meningkat karena produsen memproduksi GSP. Demi menanggulangi GSP yang tidak terkelolah, produsen membentuk lembaga CSR untuk menanggulangi GSP yang bertebaran, namun nyatanya, tempat pengepulan yang disediakan tidak beroprasi, terdapat di taman jajan sebrang taman makam pahlawan Kalibata Jakarta Selatan. Itu pun yang terpantau dan berlokasi ditempat umum, belumm lapgi ditempat lainnya yang tidak terpantau.
CSR produsen AMDK turut menggelar aksi bersih-bersih sampah kemasan produksinya, tetapi itu hanya sebatas pencitraan saja bahwa mereka turut peduli dengan pemulihan ekosistem dari pencemaran lingkungan. Disisi lain, kegiatan tersebut tidak berlanjut dengan solusi yang solutif. Seharusnya, setiap produsen memiliki SATGAS yang bertugas khusus untuk mengumpulkan dan mengangkut kembali sampah yang sudah diproduksinya untuk didaur ulang atau dikelolah sebagaimana mestinya. Banyak produsen mempermasalhkan tidak berlanjutnya program “mengambil kembali sampah” dikarenakan masih buruknya pengelolahann sampah yang terkumpul. Padahal dari dana CSR yang terkumpul dapat disalurkan untuk lembaga CSR mendirikan pabrik pengolahan kemasannya. Bukan menyuruh lembaga CSR untuk membuat kegiatan kerajinan tangan dan lain sebagainya meskipun memiliki daya ekonomi tinggi, hal itu merupakan solusi yang tidak solutif, karena dari hasil kesenian tangan itu akan menjadi sampah kembali. Jadi hanya merubah bentuk sampahnya saja menjadi sampah kembali, bukan menjadi sampah yang bermanfaat.
Secara teknis, pengelolaan sampah di Indonesia saat ini masih banyak yang menggunakan pendekatan yang belum terintegrasi antara di sisi hulu dan hilir termasuk harmonisasi aspek teknis dan finansialnya. Beberapa daerah masih fokus pada penanganan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau sisi hilir yang saat ini hampir semuanya melaksanakan prinsip open dumping. Hanya beberapa yang sudah mulai bermigrasi ke sanitary landfilling namun belum sepenuhnya memiliki strategi pengurangan atau penanganan sampah di sisi hulunya. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya timbunan sampah di TPA. Selain itu, tingkat reduksi volume sampah di TPA-TPA dengan mekanisme open dumping dan sanitary landfilling masih sangat rendah dibandingkan dengan teknologi-teknologi terbaru baik dari pendekatan thermal maupun non-thermal. Terlebih dengan adanya gallon sekali pakai, volum sampah yang tertampung dii TPA juga akan meningkat. Timbulan sampah di TPA bahkan mengakibatkan bencana yang menelan korban jiwa seperti kejadian longsornya TPA di Leuwigajah tahun 2005, longsornya TPA Cipeucang Tangsel akibat overload tahun 2020, menyerapnya air lindi ke dalam tanah sekitaran TPA Rawa Kucing Kota Tangerang akibat penampungan air lindi tidak memadai dan kapasitas TPA sudah overload 2022. Ini sudah membuktikan bahwa fasilitas pendukung pengolahan sampah di TPA masih bobrok, sehingga masyarakat local menjadi korban buruknya manajemen paersampahan, ditambah lagi produsen AMDK membuat dan mengeluarkan GSP akan memperkeruh keadaan persampahan di Indonesia.
Pengelolahan sampah di Indonesia masih menggunakan metode kolot yaitu landfilling. Dengan metode ini dampak yang timbul sangat banyak, mulai dari polusi udara, pencemaran air tanah, pencemaran tanah. Polusi udara berasal dari bau yang timbul dari gunung sampah yang di bentuk oleh masyarakat, pencemaran air tanah dan tanah merupakan dampak dari air lindi tumpukan sampah yang menyerap kedalam tanah akibatnya, air tanah sudah tidak layak untuk dipergunakan, juga produktifitas lahan pertanian menurun akibatnya hasil panen jauh dari kualitas terbaik walaupun menggunakan pupuk yang sangat bagus. Metode pengelolahan sampah di negara-negara maju sudah menanamkan displin pemilah sampah sebelum dibuang ketempat penampungan sementara, bahkan banyak sekali pabrik-pabrik pengelolahan sampah kemasan air minum berkerja sama dengan csr produsen AMDK yang mau membeli sampah dari masyarakat.
Bahaya air lindi yang terserap kedalam tanah mengandung bahan-bahan salahsatunya bahan yang terkandung dalam bahan baku gallon sekali pakai yang terkena air ujan dan endapan sehinnga melebur kedalam air lindi. Gallon sekali pakai sendiri memiliki kandungab bahan kimia yang dapat larut jika terkena air hujan atau endapan lainnya. Akibatnya air tanah tiidak layak konsumsi, serta lahan tidak dapat dipergunakan untuk pertanian.