Persoalan penggunaan sampah sekali pakai, kian menjadi masalah yang sudah sangat penting untuk segera ditanggulangi, ditambah lagi sudah banyak sekali wacana untuk menanggulangi sampah-sampah plastik sekali pakai.
Pemerintah-pemerintah daerah sudah mulai membuat regulasi terkait penggunaan kemasan plastik sekali pakai. Bahkan beberapa daerah di Indonesia sudah menerapkan itu, namun belum ada sama sekali sanksi tegas untuk penggunaan kemasan sekali pakai.
Adapun sanksi hanya untuk para konsumen saja untuk memilah dan memanfaatkan sampah-sampah sekali pakai tersebut, tidak untuk penjual dan juga produsen yang menggunakan kemasan sekali pakai.
Kondisi sungai-sungai besar di Pulau Jawa tercemar sampah plastik yang terdegradasi menjadi mikroplastik dan telah mengkontaminasi rantai makanan di sungai dan laut.
Hasil penelitian Ecoton menemukan ikan di Sungai Brantas, Bengawan Solo, Citarum dan Ciliwung telah terkontaminasi mikroplastik.
Berdasarkan riset Ecoton di empat lokasi perairan meliputi sungai dan laut, ditemukan hasil kelimpahan rata-rata mikroplastik pada ikan sebesar 20 partikel per ikan (sampel Bengawan Solo), 42 partikel per ikan (sampel Brantas), 68 partikel per ikan (sampel Citarum) dan 167 partikel per ikan (sampel Kepulauan Seribu).
Kontaminasi mikroplastik sudah masuk ke dalam tubuh manusia. Mikroplastik ditemukan ada di dalam tinja manusia, plasenta ibu hamil, paru-paru dan di dalam darah.
Ecoton menguji 102 sampel tinja manusia dan menemukan mikroplastik dalam 100% sampel tinja masyarakat dan pemimpin daerah di Jawa dan Bali.
Indonesia sudah dalam kondisi darurat sampah, sebagian besar TPA sudah penuh dan masyarakat pasti akan menolak kalau daerahnya dijadikan lokasi TPA baru.
Penanganan sampah yang saat ini tersentralisasi dengan cara kumpul angkut buang ke TPA terbukti bukan cara yang tepat menangani sampah.
Jarak transportasi sampah yang jauh harus ditempuh untuk mengangkut sampah dari penjuru kota ke satu titik penimbunan sehingga sangat rawan mengalami kecelakaan dan gangguan.
Cakupan pelayanan sampah hanya mampu menjangkau 30-40% populasi penduduk yang tinggal di pusat kota, maka pemerintah harus meningkatkan cakupan layanannya agar semua wilayah perkotaan hingga perdesaan mendapat layanan pengelolaan sampah secara menyeluruh.
Sejak tahun 2012, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 81 Tahun 2012 sudah memiliki regulasi terkait pengurangan dan pengelolaan sampah.
Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Peraturan Menteri (Permen) LHK tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen yang dikeluarkan tahun 2019. Sayangnya sampai saat ini, kedua produk hukum tersebut belum dijalankan dengan baik sehingga permasalahan sampah semakin memburuk.
Pelarangan penggunaan plastik sekali pakai menjadi strategi bagi pemerintah daerah untuk memenuhi amanat Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Peraturan ini mengamanatkan pemerintah daerah mengurangi sampah minimal hingga 30 persen dan meningkatkan pengelolaan sampah minimal 70 persen pada tahun 2025.
Undang-Undang No.18 Tahun 2008 pasal 13 dijelaskan tentang setiap fasilitas umum, pemukiman, kawasan komersial, kawasan industri, fasilitas sosial, dan fasilitas juga kawasan lainnya wajib menyediakan tempat sampah terpilah.
Kemudian pasal 14 tentang pencantuman label keterangan untuk pengurangan dan penanganan sampah pada produknya.
Pun pada pasal 15 juga dijelaskan bahwa Produsen wajib mengelolah kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Dari pasal-pasal tersebut sudah jelas instruksi pemerintah untuk para produsen sampah yang tidak dapat diproses oleh alam, namun untuk penerapannya sanksinya sendiri diserahkan kembali kepada pemerintah yang konsen dalam penanganan, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.
Namun sampai saat ini belum ada sanksi tegas untuk produsen sampah. Sehingga, para produsen sampah kemasan sekali pakai semakin bebas dan tidak pernah melihat ke arah dampaknya yang akan timbul dari banyaknya sampah-sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang. Bahkan sering sekali banyak produsen berasumsi kalau sampah plastik atau kemasan sekali pakai itu dapat dipergunakan untuk kerajinan tangan dan lain sebagainya yang kiranya positif.
Dengan berasumsi seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa produsen melakukan cuci tangan dan lari dari tanggung jawabnya yang sudah dijelaskan dalam undang-undang, dengan tidak adanya sanksi tegas maka produsen pun enggan untuk bertanggungjawab.
Pola hidup masyarakat yang konsumtif mungkin jadi salah satu penyebab banyaknya produsen yang menciptakan kemasan-kemasan yang mudah dibawa dan praktis, contohnya air minum dalam kemasan, sudah banyak sekali di pasaran air minum dalam kemasan praktis berbagai ukuran, mulai dari yang 100 ml sampai dengan 20000 ml. Sehingga masyarakat enggan untuk membawa wadah air minum sendiri agar mengurangi sampah botol sekali pakai.
Saat ini sudah bermunculan air minum dalam kemasan galon berukuran tanggung yang mampu menampung air 5-15 liter demi efektivitas dan praktisnya membawa air minum dengan jumlah banyak. Padahal sudah ada tempat air yang mampu dibawa kemana-mana dengan jumlah yang sedemikian.
Tapi banyak sekali alasan masyarakat tidak memiliki tempat tersebut. Produsen AMDK membuat desain yang sangat menarik untuk memancing masyarakat menggunakan galon sekali pakai yang praktis dan efisien.
Tetapi di balik kegunaan yang praktis dan efisien itu banyak permasalahan yang timbul akibat penggunaan galon air minum sekali pakai.
Ada 2 masalah utama yang timbul dari penggunaan galon air sekali pakai, yaitu masalah sampah plastik yang kian memperburuk keadaan bumi dan masalah kesehatan yang timbul dari bahan baku pembuatan galon sekali pakai.
Masalah sampah. Penggunaan galon sekali pakai memang masih terus diproduksi oleh salah satu produk air minum kemasan. Meskipun penggunaan galon sekali pakai tersebut di rasa cukup efisien, tetapi hal tersebut dapat menambah beban lingkungan.
Jika satu galon berisi 20 liter, lanjutnya, maka akan ada 1 miliar galon sekali pakai yang terbuang dan jika dikalikan berat kemasan kosong AMDK galon seberat 799 gram, maka akan ada tambahan 70 ribu ton sampah plastik per tahun dari galon sekali pakai.
Demi menjaga stabilitas persampahan terutama sampah galon sekali pakai, pemerintah harus bertindak tegas dan menjalankan UU yang sudah di buat, agar produsen AMDK koperatif menjalankan kewajibannya. Karena penggunaan galon sekali pakai bertentangan dengan kebijakan pemerintah tentang penurunan sampah plastik. Ia juga memberikan upaya kepada para produsen untuk melakukan daur ulang terkait produknya yang menggunakan plastik.
Langkah perusahaan produsen (air) galon sekali pakai itu kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang justru sedang berusaha mengurangi sampah plastik. Upaya yang dapat dilakukan yaitu produsen air minum kemasan galon sekali pakai harus menerima pengembalian kemasan bekas tersebut, dan mereka harus me-recycle agar dapat digunakan kembali oleh mereka.
Pemerintah harus membuat kebijakan kepada para produsen air minum kemasan galon sekali pakai untuk menerima kembali dan membeli kemasan galon bekas untuk diolah menjadi produk lainnya. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan “reward” kepada industri-industri yang telah membantu pemerintah dalam mengurangi limbah plastik sekali pakai.
Masalah kesehatan. Uraian (luruhan) mikroplastik dari galon sekali pakai tidak hanya membahayakan kesehatan mahluk hidup, termasuk manusia, tapi juga bagi lingkungan.
Air dalam kemasan galon sekali pakai itu tidak bisa disimpan terlalu lama karena akan menyebabkan makin banyak mikroplastik dari lapisan galon itu yang terlepas (luruh), yang bisa menyebabkan penyakit kanker bagi pengonsumsinya.
Kandungan mikroplastik dalam sampel galon sekali pakai ukuran 15 liter ditemukan sebanyak 85 juta partikel per liter atau setara dengan berat 0,2 mg/liter.
Sementara kandungan mikroplastik dalam galon sekali pakai ukuran 6 liter sebanyak 95 juta partikel/liter atau setara dengan berat 5 mg/liter.
Mikroplastik yang ditemukan merupakan jenis plastik yang sama digunakan pada kemasan galon sekali pakai, yakni PET. Analisis karakterisasi terhadap mikroplastik yang terkandung dalam sampel menunjukkan bahwa mayoritas bentuk partikel mikroplastik adalah fragmen, dengan ukuran yang berkisar antara 2,44 hingga 63,65 μm.
Rencana BPOM untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, khususnya pelabelan Biosphenol-A (BPA) pada Air Kemasan Galon berpotensi menimbulkan efek yang sulit dikendalikan. Jika rencana peraturan ini diterapkan, nanti akan ada pelabelan bebas kandungan logam berat, pelabelan cemaran kimia, cemaran mikroba, itu kotak pandora. Ribuan pelabelan untuk ribuan makanan kemasan di Indonesia. Penerapan Undang-Undang No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah diabaikan dalam hal ini. UU ini harus diperkuat dengan peraturan pemerintah yang bisa mendorong penerapan Extended Producer Responsibility, sebuah aksi yang merupakan bagian dari tanggung jawab produsen.
Sebanyak 80% ikan yang dikonsumsi di Indonesia sudah mengandung mikroplastik. Sampah plastik paling banyak yang ditemukan di sungai adalah kantung plastik dan kemasan air minum. Permen LHK No 75 tahun 2009 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh produsen. Beleid ini mengatur bagaimana industri mengelola sampah plastiknya sendiri. Ini seharusnya diperhatikan oleh semua industri yang harus bertanggung jawab mengelola sampah yang dihasilkan dari produk-produk kemasan plastik mereka.
Angka daur ulang plastik di Indonesia itu sangat rendah, baru di bawah 11%. "Ini yang sangat memprihatinkan. Makanya kita perlu mengurangi pemakaian plastik-plastik sekali pakai. Maka, produsen air kemasan galon sekali pakai harus melaporkan peta jalan pengurangan sampah mereka ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H