Mohon tunggu...
Latip 28
Latip 28 Mohon Tunggu... pegawai negeri -

lelaki yang belajar untuk menjadi ayah, juga suami

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gadis Kecil Itu, dari Mana Ia Belajar Memaki?

24 Desember 2013   17:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:32 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin sore, mentari bersinar cerah. Hujan yang seharian kemarin turun tiada henti, hari ini belum tampak tanda-tanda kedatangannya. Sore yang cerah, tak heran banyak orang  berkunjung ke taman Langsat, pun saya.

Seperti biasa, taman yang berada di tengah kota Jakarta Selatan itu ramai oleh pengunjung. Ada yang hanya ingin sekedar duduk di kursi taman, atau malah duduk-duduk di atas rumput secara berkelompok. Ada pula yang datang untuk melakukan pemotretan. Mereka membawa serta berbagai alat fotografi, perlengkapan untuk foto, sampai sang model yang sudah berdandan cantik.

Sekelompok anak sekolah sedang berlatih teater. Mereka mengucapkan kata-kata dengan vokal yang jelas, diulang dan diulang, kemudian dievaluasi oleh anggota lain.  Tak ketinggalan, ada pula sepasang muda-mudi yang sedang asyik bercengkrama di salah-satu bangku taman.

Saya sendiri memilih untuk jogging, berlari kecil di lintasan sepanjang 750 meter. Di antara jogging track juga disediakan dua jalur yang berfungsi untuk refleksi yang dibuat dari batu alam yang disusun sedemikian rupa.  Hanya satu yang menurutku cukup menganggu, bau air dari pembuangan rumah tangga, serta air yang mengalir di sungai kecil yang membelah taman ini. Berita bagusnya, di musim hujan seperti saat ini, bau itu tidak se-menyengat kala musim kemarau.

Saya melanjutkan lari, kali ini sudah masuk ke putaran kedua. Tiba-tiba terdengar suara, awalnya saya tak percaya dengan apa yang kudengar. Seorang gadis kecil, mungkin masih enam atau tujuh tahun, bisa mengucapkan kata-kata yang menurutku tidak layak, bahkan oleh orang dewasa sekalipun.

“Lu An****, b***, m****, ng*****!” kata gadis kecil itu sambil menunjuk sekolompok anak laki-laki yang duduk di bangku taman.

Saya terdiam, dari mana anak sekecil itu tahu kosakata seperti itu dan digunakan dengan nada memaki? Saya memilih untuk terus berlari, saya juga tidak tahu apa yang harus saya lakukan saat itu selain melanjutkan berlari.

Putaran berikutnya saya kembali bertemu dengan sekelompok anak kecil itu. Gadis kecil tadi sedang merebut handphone dari anak perempuan yang lebih besar darinya. Seketika itu juga, terlontar makian dari anak perempuan yang lebih besar, kata-kata yang sama dengan makian gadis kecil.  Kali ini saya memilih berhenti dan menoleh ke arah mereka. Anak perempuan itu setengah melotot kembali memaki gadis kecil dengan kata-kata yang sama.

Saya menarik nafas panjang, dan kembali melanjutkan lari. Lagi-lagi saya tak bisa berbuat apa-apa, hanya terdiam, lantas memilih pulang.

Selepas maghrib saya menonton televisi, berharap ada tayangan yang layak ditonton. Saat itu entah kenapa saya menyaksikan sinetron lepas, judulnya cukup menarik ‘Kursi Roda untuk Nenek’, tapi tiba-tiba saya terkejut. Tiga gadis kecil berseragam merah putih menyerang teman sekolahnya. Saya terkejut, apakah di dunia ini, sekarang ini, anak-anak sekolah berseragam merah putih juga berperilaku seperti itu? Menghasut teman-temannya untuk mengeroyok salah satu temannya?

Entah apa yang terjadi setelah itu, saya memilih untuk mengganti channel. Mungkin hanya sinetron, bagi kita, itu hanyalah akting dari aktris maupun aktor yang memainkan. Tetapi bagi anak-anak? Dan acara itu tayang di waktu primetime, dimana anak-anak masih bebas menonton.

Pikiranku kembali ke gadis kecil yang sudah bisa memaki dengan kata-kata kasar, mungkinkah dia belajar dari tayangan televisi? Entahlah. Yang pasti, saya juga melihat tayangan televisi belakangan ini sepertinya tidak ramah untuk anak-anak.

Menonton komedi yang menghadirkan bintang-bintang terkenal dengan penonton di studio berjubel pun tidak menjamin bahwa acara itu layak bagi anak-anak. Adegan pukul-pukulan dengan berbagai benda yang dibuat dengan stereform pun bisa jadi di contoh oleh anak-anak, apalagi adegan menaburi tepung, sampai mewarnai muka pemain dengan berbagai pewarna. Tetapi apakah anak-anak tahu kalau pewarna yang dipakai di acara tersebut aman dan bisa dibasuh dengan air?

Saya juga pernah menyaksikan sebuah acara komedi yang menurutku sangat tidak pantas. Tepatnya, dalam rangka hari Ibu tanggal 22 Desember lalu, dimana pemain yang notabene adalah komedian terkenal, mungkin juga termahal saat ini. Sang komedian tersebut memainkan peran sebagai ibu, saat ditanya pembawa acara, “apa panggilan sayang untuk anaknya?”, komedian tersebut menulis, “JING”. Sontak seluruh penonton di studio tertawa terbahak-bahak. Saya hanya bisa menggelengkan kepala, komedian ini seolah tak pernah jera dengan teguran KPI.

Saat ini, begitu mudah menemui anak-anak yang mengejek temannya seperti di acara komedi. Mulai dari “aaah, tutup botol kecap!” sembari menoyor temannya, sampai kata-kata yang tidak bisa saya tuliskan di sini. Anak-anak tetaplah anak-anak, yang mereka tahu acara itu bagus karena ditonton banyak orang, acara itu lucu karena banyak yang tertawa saat menyaksikan. Saya hanya bisa berharap, semoga, ke depan tayangan di televisi kita lebih ramah anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun